Thursday, January 31, 2013

BARRIER PENGHALANG KESEMBUHAN TB PARU (1): FAKTOR INDIVIDU DAN MASYARAKAT

Melanjutkan tulisan Penderita TB Paru: Perjalanan Dari batuk sampai sembuh, bila kita berpegang pada A Guide to Developing Knowledge, Attitude and Practice Surveys: Annex A, Cough to Cure Pathway (WHO, 2008), maka barrier penghalang kesembuhan penderita TB paru dapat kita pilah menjadi dua faktor utama:
 
Pertama adalah dari sisi individu dan masyarakat sedangkan yang kedua terdapat pada “sistem kesehatan”. Keduanya bisa terjadi pada semua simpul (mulai penderita mencari pengobatan sampai sembuh) yang telah dijelaskan pada tulisan sebelum ini.
 
 
FAKTOR INDIVIDU
 
Seorang yang batuk lebih dari dua minggu belum tentu pergi ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Hal ini terutama disebabkan rendahnya tingkat pengetahuan tentang gejala-gejala TB Paru, ketidak-tahuan tentang adanya pengobatan TB Paru yang berkualitas dan tuntas atau menganggap batuk-batuk yang dia derita adalah batuk-batuk biasa sehingga tidak ada risiko yang membahayakan bagi dirinya maupun bagi orang lain.
 
Ketika ia akhirnya pergi untuk mencari pengobatan, maka yang pertama muncul dalam pertimbangannya adalah faktor biaya. Biaya menuju tempat pelayanan, biaya pelayanan itu sendiri dan waktu yang terbuang dikaitkan dengan economic loss akibat ia pergi ke sana. Ketika keputusan untuk berobat sudah bulat, ia bisa saja pergi ke tempat lain yang tidak memberikan pelayanan pengobatan dengan strategi DOTS. Semua puskesmas boleh dikatakan telah memberikan pelayanan DOTS. Tetapi sarana kesehatan yang lain, seperti rumah sakit, balai pengobatan dan dokter praktek swasta belum semuanya memberikan pelayanan dengan DOTS. Kembali faktor ketidak-tahuan berperan disini, dalam kaitan dengan “health seeking behavior”.
 
Akhirnya ia sampai juga ke fasilitas kesehatan yang memberikan pelayanan DOTS. Karena rendahnya pengetahuan bahwa untuk pengobatan TB Paru diagnosanya harus pasti dan dibuktikan melalui pemeriksaan dahak yang dilakukan tiga kali, maka bisa terjadi ia tidak menyelesaikan proses diagnosanya, ia bisa tidak kembali padahal hasil pemeriksaan dahaknya positif ditemukan Mycobacterium tuberculosis. Harapannya adalah datang langsung dapat obat dan langsung sembuh.
 
Seandainya pasien kita ini patuh pada prosedur diagnosa maka setelah mendapatkan diagnosa positif TB Paru, ia akan mendapatkan pengobatan. Disini tantangan menjadi semakin besar. Ia harus berobat teratur selama sedikitnya 6 bulan sebelum dinyatakan sembuh yang dibuktikan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Ia merasa sudah baikan kemudian menghentikan pengobatan sebelum waktunya, atau ia bosan berobat karena terlalu lama, bisa juga ia mendengar bahwa nun disana ada yang bisa menyembuhkan dalam tempo singkat tanpa obat. Ia tidak tahu bahwa Obat Anti TB (OAT) menjanjikan kesembuhan tetapi perlu waktu. Demikian pula ia tidak tahu satu-satunya harapan untuk menyembuhkan TB ya hanya OAT yang diberikan dengan secara DOTS (Direct Observed Trearment Short Couse). Short Course untuk TB adalah 6 bulan, bukan 6 hari.
 
 
FAKTOR MASYARAKAT
 
Bila tingkat pengetahuan masyarakat sama rendahnya dengan penderita, maka nasib penderita amat menyedihkan. Tidak ada keluarga maupun warga sekitar yang mengingatkan dan menyarankan untuk periksa ke Puskesmas.
 
Bila masyarakat beranggapan bahwa batuk darah adalah akibat guna-guna maka penderita bisa salah langkah dalam mencari pengobatan.
 
Paling menyedihkan kalau masih ada masyarakat yang beranggapan bahwa TB paru adalah akibat kutukan. Terjadilah stigma dan penderita dikucilkan dengan akibat semakin tidak sembuh, atau penderita yang batuk darah akan menyembunyikan penyakitnya dan enggan pergi ke Puskesmas.
 
 
 
KESIMPULAN

Dapat kita lihat bahwa ditinjau dari sisi individu dan masyarakat, peran dari “ketidak-tahuan” amat besar. Contoh di atas adalah gambaran apabila tidak ada intervensi samasekali dari “sistem kesehatan”.
 
Mengubah perilaku masyarakat melalui penyuluhan kesehatan, sosialisasi dan mobilisasi sosial menjadi amat penting dan merupakan tanggung-jawab dari sistem kesehatan.
 
Hanya sistem kesehatan yang kuat dan didukung oleh peranserta aktif masyarakat yang mampu mengubah perilaku masyarakat. Dengan sistem kesehatan yang kuat kita akan mampu mencapai universal access.
 

Tuesday, January 29, 2013

PENDERITA TB PARU: PERJALANAN DARI BATUK SAMPAI SEMBUH


Melanjutkan tulisan: Apa yang terjadibila penderita TB paru batuk, menurut  Global Tuberculosis Report, WHO 2012, upaya pengendalian TB global sudah menunjukkan hasil yang bermakna, yaitu Rate kasus baru sudah menurun sampai 2,2 % pada periode 2011-2012 dan angka kematian akibat TB sudah turun 41 % dibandingkan tahun 1990, yang berarti dunia sudah on track dalam mencapai sasaran MDGs.
 
Walau demikian beban TB global masih berat. Estimasi jumlah penderita TB baru pada tahun 2011 adalah 8,7 juta, dimana 13 % diantaranya ko-infeksi dengan HIV. Demikian pula masih terdapat kurang-lebih 1,4 juta orang meninggal akibat TB.
 
Kita bayangkan seandainya 8,7 juta orang tersebut belum diobati dan batuk bersama-sama dalam keramaian metropolis di Jakarta, berapa orang yang akan ketularan. Oleh sebab itu, jangan abaikan batuk, apalagi kalau batuk berlanjut sampai lebih dari dua minggu.
 
 
FROM COUGH TO CURE
 
Bila kita membaca publikasi WHO (2008): A Guide to Developing Knowledge, Attitude and Practice Surveys, dapat kita baca pada Annex: A, Cough to Cure Pathway yang menggambarkan alur ideal perilaku seorang penderita TB paru sejak batuk sampai sembuh dan barrier yang mungkin menghalangi proses kesembuhan penderita tersebut.
 
Kita akan temukan simpul-simpul perhentian dalam alur tersebut sekaligus dapat melakukan analisis penyebabnya dan menentukan intervensi apa yang paling pas sehingga hambatan-hambatan tersebut dapat dilewati dengan aman dan lancar.
 
Bila kita bandingkan dengan 8 simpul yang perlu mendapat perhatian dalam pencapaian Universal Access, maka pada Cough to Cure Pathway ini kita lebih melihat dari sisi penderita, sedangkan 8 simpul yang terkait dengan Universal Access lebih banyak hubungannya dengan manajemen program. Tujuan akhirnya semua sama: Menyembuhkan yang harus diobati.
 
From Cough to Cure Pathway dapat digambarkan sebagai berikut:
 
 
Dengan demikian terdapat 6 simpul yang perlu mendapat perhatian sehingga penderita TB tidak salah arah, yaitu pada saat:

1.    Penderita dengan batuk mencari pengobatan

2.    sampai ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang memberikan pelayanan dengan strategi DOTS

3.    Menegakkan diagnosa dengan pemeriksaan dahak

4.    Memulai pengobatan

5.    Melanjutkan pengobatan dan Follow-up pengobatan

6.    Sembuh

 
KESIMPULAN

Intinya adalah “Health Education”, berangkat dari Health Seeking Behavior tetapi tidak boleh berhenti saat penderita sampai di pintu pelayanan DOTS. Harus terus dibimbing, diarahkan dan di awasi sampai keluar dari pintu DOTS dengan ucapan selamat bahwa penderita telah sembuh. Barrier yang menghalangi perjalanan penderita harus disingkirkan sehingga tidak ada hal-hal yang menghambat perjalanan menuju sembuh tersebut. Sudah saatnya TB lengser dari percaturan dunia penyakit di bumi ini
 

Sunday, January 27, 2013

APA YANG TERJADI KETIKA SEORANG PENDERITA TB PARU BATUK?


Batuk adalah cara tubuh merespons adanya sesuatu yang menimbulkan iritasi pada saluran pernapasan, melalui refleks yang mekanismenya cukup canggih. Penjelasannya dapat dibaca pada posting Batuk: Gejala penyakit yang banyak diabaikan. Yang jadi masalah kalau yang batuk adalah penderita TB Paru, karena dapat menular ke orang lain.
 

 Akibat adanya peradangan di jaringan paru dan saluran pernapasan, tubuh akan bereaksi untuk mengeluarkan partikel yang menimbulkan peradangan tersebut. Cara termudah adalah melalui “batuk” yang telah diatur oleh mekanisme refleks. Itulah sebabnya mengapa penderita TB paru pada umumnya mengalami batuk-batuk. Tidak hanya satu dua hari tetapi berkepanjangan. Oleh sebab itu bila kita batuk lebih dari dua minggu, pikirkan salah satu penyebabnya adalah TB paru.
 
Bila kerusakan jaringan paru berlanjut maka yang terjadi tidak hanya batuk saja tetapi batuk dengan dahak bercampur darah. Gejala batuk umumnya disertai demam dan keringat pada malam hari, demikian pula nafsu makan berkurang dan berat badan turun. Lama-kelamaan tubuh makin lemah dan bisa meninggal kalau tidak segera diobati.
 
 
TIDAK HANYA MEMBAHAYAKAN DIRI SENDIRI TETAPI JUGA ORANG LAIN
 
Mycobacterium tuberculosis terlontar keluar, melalui partikel airborne yang disebut droplet nuclei dengan diameter 1-5 mikron. Hal ini terjadi bila penderita TB paru batuk, bersin, berteriak, menyanyi maupun tertawa.
 
Bila batuk sendirian dimana tidak ada orang lain tentunya tidak ada masalah. Tetapi bila ada orang lain di dekatnya, maka ada peluang orang lain tersebut akan tertular.

Mycobacterium tuberculosis dalam jumlah sedikit sudah cukup untuk menimbulkan sakit. WHO Fact Sheet Oktober 2012 menyebutkan satu dari tiga penduduk dunia pernah terinfeksi TB dengan 10 persen diantaranya berpeluang untuk menjadi sakit.
 
Gambar di atas adalah animasi penularan TB paru dari http://www.doh.state.fl.us/disease_ctrl/tb/Introduction/TB%20Intro.html
 
 
PERJALANAN MYCOBACTERIUM TUBERCULOSIS

Di atas telah disebutkan bahwa Mycobacterium tuberculosis dibawa oleh droplet nuclei dan ditularkan melalui udara. Selanjutnya memasuki tubuh manusia melalui mulut atau hidung, masuk ke saluran pernapasan bagian atas, bronchus, bronchioli dan akhirnya sampai ke alveoli paru. Lahirlah penderita TB baru.

 
Demikian seterusnya bila rantai penularan tidak diputus. TB yang sudah ada sejak jaman purbakala  akan terus melakukan rutinitas sama, mengganggu ketenteraman hidup manusia pada abad modern di bumi ini.
 
 
KESIMPULAN

Visi global pengendalian TB adalah A World Free of TB: Pada tahun 2050 TB sudah harus di eliminasi sehingga tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat (< 1 penderita per 1 juta populasi).
 
Sukses sebenarnya sudah di ambang pintu. Kesakitan dan kematian di dunia sudah menurun. Bahkan Indonesia sudah berhasil mencapai target MDGs 2015 yaitu menurunkan prevalensi dan kematian akibat TB sebesar 50% dibandingkan tahun 1990. Tetapi kita tidak boleh terlena. Dua tantangan utama yang harus kita hadapi adalah TB resisten obat dan TB HIV yang semuanya berasal mula dari “batuk” akibat penderita dan petugas kesehatan tidak waspada.


Semua bermula dari “batuk”. Oleh sebab itu perilaku seseorang yang “batuk” dalam kaitan dengan upaya untuk menyembuhkan batuknya perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh: Mulai dari batuk, upaya untuk berobat, apakah ke fasilitas pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan DOTS, apakah ia menyelesaikan proses diagnosa pasti untuk TB, kemudian memulai pengobatan sampai menyelesaikan pengobatannya dengan hasil “sembuh”.

Dilanjutkan ke Penderita TB Paru: Perjalanan dari batuk sampai sembuh

Friday, January 25, 2013

UNIVERSAL ACCESS (7): DELAPAN SIMPUL YANG PERLU MENDAPAT PERHATIAN


Dari penjabaran Box 1.3 Towards Universal Access: Scaling up priorityHIV/AIDS interventions in the health sector, WHO 2009 melalui 7 tulisan terdahulu, telah kita dapatkan simpul-simpul yang perlu yang perlu diurai dalam upaya kita untuk “scaling up” intervensi bidang kesehatan yang diperlukan.
 
Ceriteranya memang untuk HIV AIDS tetapi dapat dilaksanakan untuk semua program kesehatan: Tidak hanya HIV, melainkan juga untuk TB, Malaria dan penyakit lainnya termasuk penyakit tidak menular.
 
Simpul yang perlu mendapat perhatian adalah:

1.    Reachability: Terkait dengan kemudahan menjangkau sarana pelayanan kesehatan
2.    Affordability: Terkait dengan kemampuan ekonomi penderita
3.   Acceptability: Terkait dengan penerimaan sesuai sosio-kultural masyarakat atas pelayanan yang disediakan
4.   Supply: Terkait dengan jenis dan mutu pelayanan yang disediakan oleh pemberi pelayanan
5.    Demand: Terkait dengan jenis pelayanan yang diinginkan masyarakat
6.    Health Seeking Behavior: Terkait dengan perilaku masyarakat dalam upaya mereka mencari pelayanan kesehatan

Nomor 1 s/d 3 akan menghasilkan “Availability”. Kurang satu berarti pelayanan “belum available”. Nomor 4 s/d 6 akan menghasilkan “Coverage". Bila ke enam hal tersebut dapat dipenuhi barulah coverage akan dicapai sesuai dengan yang diharapkan.
 
Impact dan outcome adalah hasil dari coverage. Guna mencapai outcome dan impact ada dua simpul yang perlu mendapat perhatian yaitu (1) Efektifitas dan (2) Efisiensi pelaksanaan kegiatan. Dengan demikian kita dapatkan 8 simpul yang bagan alurnya dapat dilihat pada gambar di bawah:
 
 
 
DAPAT DIGUNAKAN SEBAGAI “TOOL” MONTORING DAN EVALUASI
 
Bagan alur di atas dapat digunakan untuk memperoleh potret cepat masalah pelayanan kesehatan yang terjadi di suatu wilayah, untuk selanjutnya dikembangkan lebih detail. Kita ambil contoh mengapa Coverage dan Success rate (Outcome) program TB baik?

1.   Di tingkat “Availability” tidak ada masalah. Hampir 100 persen puskesmas menyediakan pelayan TB. Sudah pasti “affordable” karena tidak dipungut biaya. Demikian pula akseptabilitas masyarakat terhadap program TB adalah baik. Tidak ada hambatan sosio-kultural di kalangan masyarakat.

2.    Di tingkat Coverage amat baik. Sasaran MDGs 2015 sudah dicapai beberapa tahun lalu: Coverage pengobatan di atas 70 persen dari sasaran. Hal ini karena semua puskesmas memberikan pelayanan dengan suplai yang sesuai. Semuanya tersedia: tenaga, obat, laboratorium, disamping itu dilakukan pengawasan memakan obat yang dilaksanakan masyarakat. Tidak pernah terjadi stock out obat, dan demand masyarakat baik karena kesadaran sudah tinggi. Health seeking behavior umumnya mengarah ke Puskesmas. Kalau ada yang ke dukun karena dianggap batuk darah akibat guna-guna, hal ini kasuistik, tidak banyak lagi terjadi.

3.    Di tingkat “Outcome” (kita belum sampai ke impact) angka kesembuhan tinggi dan sudah melampaui target MDGs 2015 yaitu 85%. Hal ini karena konsistensi menggunakan strategi DOTS dengan pengawasan langsung oleh masyarakat/keluarga, sehingga angka putus obat amat rendah. Dengan demikian pengobatan TB amant efektif.

4.   Disisi lain kita tidak boleh terlena dengan keberhasilan. Ancaman timbunya resistensi obat (MDR dan XDR TB) cukup tinggi. Hal ini juga dapat dilacak dengan “tool” ini. Timbulnya MDR karena pengobatan standar dengan strategi DOTS tidak lagi efektif. Mengapa tidak efektif antara lain karena penderita berobat tidak teratur, menghentikan pengobatan sebelum waktunya, diberikan obat yang tidak standar, tidak ada pengawasan pengobatan dan lain-lain. Hal ini dapat dilacak apakah sebabnya dari faktor pasien, atau dari pemberi pelayanan. Kalau dari pemberi pelayanan (pengoibatan modern) apakah dari Puskesmas, RS atau dokter praktek swasta.

Contoh “Efisiensi” adalah dari progam pengendalian malaria. Pelaksanaan distribusi kelambu dilaksanakan bekerjasama dengan program KIA dan Imunisasi. Efisien bagi petugas, efisien pula bagi masyarakat. Hasilnya adalah Annual Parasite Index (API) malaria semakin menurun dan sudah mendekati sasaran MDGs. Keberhasilan ini karena didukung coverage yang baik. Coverage yang baik karena demand masyarakat dapat diimbangi dengan suplai yang cukup.
 
Demikian seterusnya. Kita bisa menggunakan “tool” ini bolak-balik dari atas maupun dari bawah. Kita bisa menemukan dimana letak keberhasilan dan kalau belum berhasil dimana terjadi blocking sehingga dapat dilakukan health system response yang sesuai.
 
 
KESIMPULAN
 
Delapan simpul yang dapat digambarkan dalam sebuah bagan alur di atas dapat digunakan sebagai acuan untuk membantu pelaksanaan supervisi manajerial maupun teknis. Kita bisa melakukan assessment lebih cepat untuk mengerucutkan masalah: Simpul yang lemah dapat diketahui, sehingga dalam jangka pendek dapat dilakukan “health system response”  dan dalam jangka menengah dapat untuk merencanakan di bagian mana perlu dilakukan  “health system strenghtening”. Petugas teknis dapat menjabarkan 8 simpul tadi dalam sebuah check-list guna efisiensi dan efektifitas supervisi. (IwMM)


  1
Universal Access
  2
Universal Access (1): Tantangannya tantangan 
  3
Universal Access (2): Banyak tempat perhentian sebelum sembuh
  4
Universal Access (3): Availability of service saja belum cukup
  5
Universal Access (4): Hal-hal yang mempengaruhi coverage
6
Universal Access (5): Pengaruh Supply, Demand dan Health Seeking Behavior terhadap Coverage
7
Universal Access (6): Outcome dan Impact dipengaruhi efektifitas dan efisiensi intervensi
  8
Universal Access (7): Delapan simpul yang perlu mendapat perhatian
 

 

 

 

Wednesday, January 23, 2013

UNIVERSAL ACCESS (6): OUTCOME DAN IMPACT DIPENGARUHI EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI INTERVENSI


Masih  dari Box 1.3 Towards UniversalAccess: Scaling up priority HIV/AIDS interventions in the health sector, WHO2009: Mengenai Measuring progress towards universal access, maka  “Access” is a broad concept that measures three dimensions of key health sector interventions: availability, coverage and outcome and impact. Adapun mengenai Outcome dan Impact dikatakan bahwa: Outcome and impact are defined in terms of medium-term effects, such as behavioural change or higher survival rates, and long-term effects, such as lower infection rates, respectively. Outcome and impact are the result of coverage and depend on the efficiency and effectiveness of interventions.
 
Pada tulisan ini kita garis bawahi bahwa akses adalah konsep umum tentang ukuran tiga dimensi kunci intervensi kesehatan, yaitu: Availability, coverage dan outcome serta impact. Adapun outcome dan impact adalah hasil dari coverage, hasilnya bergantung dari efisiensi dan efektifitas intervensi yang dilakukan.
 
 
 
COVERAGE DAN OUTCOME
 
Pada saat ini kita telah sampai pada coverage atau proporsi dari penderita yang ditemukan terhadap perkiraan sasaran yang membutuhkan pengobatan. Contoh yang paling bagus adalah program pengendalian TB dengan Coverage di atas 70 persen yang berarti telah mencapai sasaran MDG untuk tahun 2014.
 
Coverage saja belum cukup, karena pertanyaan berikutnya adalah apa outcome dan impact dari coverage yang telah kita capai? Peluangnya besar sekali bahwa penderita yang tercover ternyata karena berbagai sebab, misalnya drop out, menjadi tidak sembuh. Outcome adalah efek jangka menengah misalnya angka kesembuhan tinggi dan angka kematian rendah. Kita ambil contoh angka keberhasilan pengobatan adalah di atas 85 persen. Melampaui sasaran yang diharapkan MDG untuk dicapai pada tahun 2014. Outcome dan juga Impact untuk jangka panjang, merupakan hasil dari efektifitas dan efisiensi pelaksanaan program.
 
 
DEFINISI EFISIEN DAN EFEKTIF
 
Dua kata ini hari-hari kita dengar sekaligus ucapkan. sering  meluncur otomatis dari mulut. Apakah yang menyampaikan tahu artinya? Ternyata banyak yang gelagepan, termasuk saya sendiri  ketika suatu ketika ditanya balik: “Apa pengertian efisien dan efektif, Pak?”
 
Ada banyak pengertian Efektif dan efisien di internet. Di bawah ini saya ambil dari www.dictionary.com cukup sederhana untuk dipahami.

Effective
Adequate to accomplish a purpose; producing the intended or expected result.
Efficient
Performing or functioning in the best possible manner with the least waste of time and effort

 Kurang lebih terjemahannya: Efektif berarti pekerjaan diselesaikan dengan hasil sesuai yang diharapkan sedangkan efisien adalah hasil kerja terbaik sehingga tidak buang-buang tenaga dan waktu. Jadi: sasaran tercapai adalah efektif dan kalau diselesaikan dengan sumber daya minimal adalah efisien.
 
Pengertian yang lebih pendek lagi dikemukakan oleh Peter F Drucker dalam bukunya “The effective executive”. Menurut Drucker, “Efficiency is doing things right; effectiveness is doing the right things.”
 
Silakan pilih, mana yang lebih mudah dipahami. Kelihatannya malah lebih sulit yang terakhir ini karena Drucker menggunakan permainan kata. Google translate pun tidak bisa menterjemahkan. Silakan coba.
 
 
CONTOH SEDERHANA: EFEKTIF DAN EFISIEN
 
A dan B keduanya petugas TB di Puskesmas yang berbeda. Coverage dan Succes Rate pengobatan TB di kedua Puskesmas bagus. Supervisor dari Kabupaten melihat bahwa walaupun hasilnya bagus, tetapi kinerja B perlu ditingkatkan.
 
Supervisor melihat bahwa A begitu datang di Puskesmas selalu menyiapkan kartu penderita yang diharapkan hari ini datang, mengecek almari obat dan menyiapkan obat yang diperkirakan hari ini diambil. Ia laporkan semuanya kepada dokter Puskesmas. Hasilnya pasien senang karena pelayanan cepat selesai. Si A sendiri juga kerja lebih santai karena semua yang diperlukan sudah siap. Hasil yang diperoleh, cakupan tinggi, angka kesembuhan pun tinggi. Dikatakan oleh Supervisor: “A, kamu ini orang yang efektif dan efisien”.
 
Lain halnya dengan B. Ia datang langsung duduk, ngobrol dengan temannya. Pasien datang dilayani dengan ramah, tetapi kartu harus dicari dulu. Bahkan pasien terakhir harus menunggu lebih lama, karena obat di almari obat sudah habis, Si B harus mencari petugas gudang lebih dahu;u untuk mengeluarkan obat dari gudang. Hasil akhirnya sama-sama baik. Coverage dan angka kesembuhan tinggi. Supervisor memberi nasihat: “B, kamu harus kerja lebih efisien”.
 
 
KESIMPULAN
 
Efisien dan Efektif keduanya penting apalagi untuk pengobatan TB yang butuh waktu minimal 6 bulan. Kinerja petugas yang tidak efisien membuat waktu tunggu lebih lama. Lama-kelamaan pasien juga akan merasa bahwa pergi ke puskesmas tidak efisien untuk dirinya. Ia bisa saja menghentikan pengobatan tanpa tahu risikonya bahwa di depan sana menghadang MDR TB.

1
2
3
4
5
6
7
Universal Access (6): Outcome dan Impact dipengaruhi efektifitas dan efisiensi intervensi
 8
 
 
 
 

Most Recent Post