Semua
yang sakit tentu ingin sembuh. Kenyataannya masih banyak orang yang sakitnya
berlanjut, dan berakhir dengan kematian. Angka kematian yang tinggi menunjukkan
rendahnya derajat kesehatan masyarakat. Pada posting sebelum ini, Universal Access (1): Tantangannya tantangan, dapat dilihat bahwa banyak hal yang berpengaruh
terhadap “akses” penderita kepada layanan kesehatan.
Andaikan (kita asumsikan) hambatan-hambatan akses sudah
diatasi, misalnya lokasi fasilitas kesehatan dekat, tidak dipungut biaya dan
secara sosio-kultural tidak ada masalah, apakah orang sakit akan berduyun-duyun
mendatangi Puskesmas atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya?
Ternyata
belum tentu demikian. Masih ada hal lain yang menghentikan keputusan orang
sakit mendatangi tempat pelayanan kesehatan yang seharusnya.
BANYAK PERHENTIAN YANG MENGHAMBAT
KESEMBUHAN
Setidaknya
ada 5 (lima) simpul perhentian sebelum orang sakit menjadi sembuh. Saya coba mengikuti
alur model Piot-Fransen untuk penderita
IMS (Infeksi Menular Seksual) dikaitkan dengan tiga penyakit HIV/AIDS, TB
Paru dan Malaria secara umum, sebagai berikut:
a. Perhentian Pertama:
Banyak
orang sakit yang belum timbul gejala.
Seorang HIV Positif bisa sampai
10 tahun tanpa gejala. Penderita TB yang “laten” juga tanpa gejala. Penyakit
Malaria Vivax bisa laten dan dianggap sudah sembuh. Padahal masih ada
plasmodium sembunyi di livernya yang sewaktu-waktu dapat manifest.
Penderita
penyakit menular tanpa gejala ini bisa menyusahkan diri sendiri, setidaknya
kalau penyakit berlanjut pengobatan menjadi lebih lama, bisa juga membahayakan orang lain karena ada peluang
menular.
b. Perhentian Ke-dua
Gejala
sudah timbul, tetapi orang tidak berobat. Bisa karena ketidaktahuan atau
dianggap penyakit biasa yang akan sembuh sendiri kapan-kapan. Seorang yang punya
perilaku berisiko HIV/AIDS tetapi tidak menyadari kalau gejala penyakit yang
terjadi, misalnya: Batuk kronis, diare kronis, penurunan berat badan, stomatitis
dll kemungkinan merupakan gejala awal terjadinya AIDS bisa terlambat mendapat
pertolongan.
Demikian
pula penderita TB paru bisa mengabaikan batuknya karena dianggap batuk itu
biasa (dapat dibaca di Batuk: Gejala penyakit yang banyak diabaikan). Malah ada
lelucon yang mengatakan kalau di negara maju batuk bisa dianggap gejala awal
kematian, di negara lain batuk justru merupakan tanda kehidupan. Sepanjang
masih terdengar seseorang batuk, berarti masih hidup.
Mungkin
diantara ketiga penyakit hanya penderita Malaria saja yang langsung berobat
karena gejala akutnya membuat orang langsung terbanting dan ingin secepatnya
sembuh.
c. Perhentian Ke-tiga
Orang
sakit pada akhirnya pasti mencari kesembuhan. Health Seeking Behavior tiap
orang bisa berbeda-beda. Walau Puskesmas, Rumah sakit dan dokter praktek tidak
terlalu jauh dari tempat tinggalnya, Biaya bukan masalah karena semua orang
sudah dijamin oleh sistem asuransi kesehatan yang baik, demikian pula hambatan
sosio-kultural tidak ada, belum tentu si orang sakit ini pergi ke sana.
Karena
tidak ada hambatan akses, berarti yang berperan dalam hal ini adalah “persepsi”
orang tersebut terhadap penyakit dan pengalaman orang lain yang ia dengar sebelum
ia mengambil keputusan untuk berobat kemana: Mengobati sendiri atau pengobatan
alternatif. Keduanya bisa rasional bisa tidak rasional.
d. Perhentian Ke-empat.
Si
sakit bisa mengunjungi Puskesmas atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya,
begitu merasa tidak enak badan. Bisa juga hal ini dilakukan setelah mengobati sendiri
atau pengobatan alternatif tetapi tidak sembuh.
Kendali
sekarang dipegang petugas kesehatan. Untuk penyakit-penyakit seperti HIV/AIDS,
TB Paru dan Malaria, sebenarnya sudah ada pengobatan standar yang
direkomendasikan WHO dan berlaku global. Tetapi masih ada petugas kesehatan
yang tidak menggunakan pedoman standar tersebut. Misalnya tidak menggunakan
metoda DOTS dan pengobatan dengan kombinasi Artemisinin, masing-masing untuk TB
Paru dan Malaria. Hal ini bisa menghambat kesembuhan bahkan menimbulkan risiko
terjadinya resistensi obat.
e. Perhentian Ke-lima
Pengobatan
sudah diberikan secara benar tetapi si sakit tidak taat berobat. Sama saja
dengan tidak diobati malah bisa menimbulkan bahaya yang lebih besar yaitu
resistensi obat. Untuk Malaria yang pengobatannya jangka pendek, mungkin tidak
terlalu bermasalah. Beda dengan HIV AIDS yang harus makan obat seumur hidup,
sementara efek samping obat amat tidak enak. Mereka bisa meninggalkan obat
karena menganggap efek samping obat bisa membuat mati. Padahal kalau tidak
minum obat justru lebih berbahaya. Demikian pula halnya dengan penderita TB
Paru yang harus minum obat teratur sedikitnya selama 6 bulan. Tiga bulan
berobat merasa enak, kemudian berhenti berobat padahal sebenarnya dia belum
sembuh.
KESIMPULAN
Lima
simpul perhentian tersebut akan menghambat kesembuhan. Pada akhirnya hanya yang
taat berobat yang akan sembuh. Semakin banyak penderita yang disembuhkan akan
memberikan dampak positif yaitu menurunnya prevalensi penyakit. Gambar di bawah
menunjukkan lima simpul yang perlu diwaspadai sebelum orang sakit sembuh (warna
hijau). Warna hijau tersebut harus diperlebar supaya setidaknya mencapai 85%
dari yang warna merah (penderita). Hal tersebut akan memberikan dampak
meningkatnya kesehatan masyarakat yang bermakna secara epidemiologis.
Model
di atas menunjukkan bahwa upaya untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat dan
upaya untuk memotivasi penderita supaya berobat yang betul dan taat adalah amat
penting.
TULISAN TERKAIT
1
|
|
2
|
|
3
|
Universal Access (2): Banyak
tempat berhenti sebelum sembuh
|
4
|
|
5
|
|
No comments:
Post a Comment