Tuesday, January 15, 2013

UNIVERSAL ACCESS (2): BANYAK TEMPAT PERHENTIAN SEBELUM SEMBUH

Semua yang sakit tentu ingin sembuh. Kenyataannya masih banyak orang yang sakitnya berlanjut, dan berakhir dengan kematian. Angka kematian yang tinggi menunjukkan rendahnya derajat kesehatan masyarakat. Pada posting sebelum ini, Universal Access (1): Tantangannya tantangan, dapat dilihat bahwa banyak hal yang berpengaruh terhadap “akses” penderita kepada layanan kesehatan.
 
Andaikan (kita asumsikan) hambatan-hambatan akses sudah diatasi, misalnya lokasi fasilitas kesehatan dekat, tidak dipungut biaya dan secara sosio-kultural tidak ada masalah, apakah orang sakit akan berduyun-duyun mendatangi Puskesmas atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya?
 
Ternyata belum tentu demikian. Masih ada hal lain yang menghentikan keputusan orang sakit mendatangi tempat pelayanan kesehatan yang seharusnya.
 
 
BANYAK PERHENTIAN YANG MENGHAMBAT KESEMBUHAN
 
Setidaknya ada 5 (lima) simpul perhentian sebelum orang sakit menjadi sembuh. Saya coba mengikuti alur model Piot-Fransen untuk penderita IMS (Infeksi Menular Seksual) dikaitkan dengan tiga penyakit HIV/AIDS, TB Paru dan Malaria secara umum, sebagai berikut:
 
a. Perhentian Pertama:
 
Banyak orang sakit yang belum timbul gejala.  Seorang  HIV Positif bisa sampai 10 tahun tanpa gejala. Penderita TB yang “laten” juga tanpa gejala. Penyakit Malaria Vivax bisa laten dan dianggap sudah sembuh. Padahal masih ada plasmodium sembunyi di livernya yang sewaktu-waktu dapat manifest.
 
Penderita penyakit menular tanpa gejala ini bisa menyusahkan diri sendiri, setidaknya kalau penyakit berlanjut pengobatan menjadi lebih lama, bisa juga  membahayakan orang lain karena ada peluang menular.
 
b. Perhentian Ke-dua
 
Gejala sudah timbul, tetapi orang tidak berobat. Bisa karena ketidaktahuan atau dianggap penyakit biasa yang akan sembuh sendiri kapan-kapan. Seorang yang punya perilaku berisiko HIV/AIDS tetapi tidak menyadari kalau gejala penyakit yang terjadi, misalnya: Batuk kronis, diare kronis, penurunan berat badan, stomatitis dll kemungkinan merupakan gejala awal terjadinya AIDS bisa terlambat mendapat pertolongan.
 
Demikian pula penderita TB paru bisa mengabaikan batuknya karena dianggap batuk itu biasa (dapat dibaca di Batuk: Gejala penyakit yang banyak diabaikan). Malah ada lelucon yang mengatakan kalau di negara maju batuk bisa dianggap gejala awal kematian, di negara lain batuk justru merupakan tanda kehidupan. Sepanjang masih terdengar seseorang batuk, berarti masih hidup.
 
Mungkin diantara ketiga penyakit hanya penderita Malaria saja yang langsung berobat karena gejala akutnya membuat orang langsung terbanting dan ingin secepatnya sembuh.
 
c. Perhentian Ke-tiga
 
Orang sakit pada akhirnya pasti mencari kesembuhan. Health Seeking Behavior tiap orang bisa berbeda-beda. Walau Puskesmas, Rumah sakit dan dokter praktek tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya, Biaya bukan masalah karena semua orang sudah dijamin oleh sistem asuransi kesehatan yang baik, demikian pula hambatan sosio-kultural tidak ada, belum tentu si orang sakit ini pergi ke sana.
 
Karena tidak ada hambatan akses, berarti yang berperan dalam hal ini adalah “persepsi” orang tersebut terhadap penyakit dan pengalaman orang lain yang ia dengar sebelum ia mengambil keputusan untuk berobat kemana: Mengobati sendiri atau pengobatan alternatif. Keduanya bisa rasional bisa tidak rasional.
 
d. Perhentian Ke-empat.
 
Si sakit bisa mengunjungi Puskesmas atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, begitu merasa tidak enak badan. Bisa juga  hal ini dilakukan setelah mengobati sendiri atau pengobatan alternatif tetapi tidak sembuh.
 
Kendali sekarang dipegang petugas kesehatan. Untuk penyakit-penyakit seperti HIV/AIDS, TB Paru dan Malaria, sebenarnya sudah ada pengobatan standar yang direkomendasikan WHO dan berlaku global. Tetapi masih ada petugas kesehatan yang tidak menggunakan pedoman standar tersebut. Misalnya tidak menggunakan metoda DOTS dan pengobatan dengan kombinasi Artemisinin, masing-masing untuk TB Paru dan Malaria. Hal ini bisa menghambat kesembuhan bahkan menimbulkan risiko terjadinya resistensi obat.
 
e. Perhentian Ke-lima
 
Pengobatan sudah diberikan secara benar tetapi si sakit tidak taat berobat. Sama saja dengan tidak diobati malah bisa menimbulkan bahaya yang lebih besar yaitu resistensi obat. Untuk Malaria yang pengobatannya jangka pendek, mungkin tidak terlalu bermasalah. Beda dengan HIV AIDS yang harus makan obat seumur hidup, sementara efek samping obat amat tidak enak. Mereka bisa meninggalkan obat karena menganggap efek samping obat bisa membuat mati. Padahal kalau tidak minum obat justru lebih berbahaya. Demikian pula halnya dengan penderita TB Paru yang harus minum obat teratur sedikitnya selama 6 bulan. Tiga bulan berobat merasa enak, kemudian berhenti berobat padahal sebenarnya dia belum sembuh.
 
 
KESIMPULAN
 
Lima simpul perhentian tersebut akan menghambat kesembuhan. Pada akhirnya hanya yang taat berobat yang akan sembuh. Semakin banyak penderita yang disembuhkan akan memberikan dampak positif yaitu menurunnya prevalensi penyakit. Gambar di bawah menunjukkan lima simpul yang perlu diwaspadai sebelum orang sakit sembuh (warna hijau). Warna hijau tersebut harus diperlebar supaya setidaknya mencapai 85% dari yang warna merah (penderita). Hal tersebut akan memberikan dampak meningkatnya kesehatan masyarakat yang bermakna secara epidemiologis.
 
 
Model di atas menunjukkan bahwa upaya untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat dan upaya untuk memotivasi penderita supaya berobat yang betul dan taat adalah amat penting.
 
 
TULISAN TERKAIT

1
2
3
Universal Access (2): Banyak tempat berhenti sebelum sembuh
4
5
 6
 7
 8
 
 
 
 

No comments:


Most Recent Post