Melanjutkan tulisan Barrier penghalang kesembuhan TB Paru (1): Faktor Individu dan masyarakat, maka masih ada satu
lagi barrier yang harus diatasi yaitu hambatan dalam sistem kesehatan itu
sendiri. Demikian yang disebutkan dalam A Guide to Developing Knowledge,Attitude and Practice Surveys: Annex A, Cough to Cure Pathway (WHO, 2008).
Sistem kesehatan yang berfungsi baik akan mendukung keberhasilan pengobatan TB Paru dengan DOTS. Oleh sebab itu "Health System Strenghtening" adalah salah satu pilar keberhasilan dalam upaya pengendalian penyakit Tuberkulosis
SISTEM KESEHATAN
Sistem Kesehatan yang berfungsi
baik, berarti sistem tersebut mampu memberikan akses yang adil bagi semua orang,
memberikan jaminan terhadap pembiayaan kesehatan sekaligus memberi peluang kepada masyarakat untuk berperan-serta dalam
pengambilan keputusan terkait dengan kesehatan masyarakat dan sistem
kesehatan. Dengan demikian masyarakat akan terlindung dari penyakit, utamanya
yang menjadi masalah kesehatan di wilayahnya, sehingga derajat kesehatan individu,
keluarga dan masyarakat pun akan meningkat.
Terdapat“6 Building
Blocks” dalam Sistem Kesehatan yaitu: Pelayanan, Tenaga kesehatan, Informasi,
Suplai dan tehnologi, Pembiayaan dan Leadership. Bila ke-enamnya berfungsi
dengan baik maka akses, coverage, kualitas dan keamanan akan meningkat dan pada
akhirnya derajat kesehatan masyarakat akan meningkat.
Sistem kesehatan yang tidak berfungsi
dengan baik, akan menghambat pencapaian Universal Access karena availability of
service tidak sempurna, selanjutnya berpengaruh pada coverage sehingga pelayanan
kesehatan tidak memberikan outcome dan impact yang diharapkan.
BARRIER DALAM SISTEM KESEHATAN
Dengan mengasumsikan bahwa Sistem
Kesehatan mulai berperan saat pasien mengetuk pintu pelayanan DOTS (dengan kata
lain: Upaya pasien menuju sarana DOTS dianggap faktor individu dan masyarakat)
maka hambatan-hambatan yang dapat kita temukan adalah:
Sistem yang tidak menyediakan
pelayanan yang accessible (dapat dijangkau secara fisik) dan affordable (dapat
dijangkau dari segi pembiayaan) akan mengurangi jumlah penderita yang menuju ke
sarana pelayanan DOTS. Penderita yang sudah datang pun karena harus berobat
selama enam bulan, bisa satu-satu menghentikan pengobatan mulai pada simpul
diagnosa sampai tahap penyembuhan.
Satu hal lagi yang menghambat
datangnya penderita ke pelayanan DOTS adalah adanya pelayanan lain yang non
DOTS tetapi lebih mudah di akses. Apabila pemberi pelayanan non DOTS tersebut
tidak memiliki pengetahuan mengenai pengobatan TB yang seharusnya, sekaligus
tidak punya jejaring dengan pelayanan DOTS, maka nasib penderita kalau
betul-betul TB sudah dapat dibayangkan. Disinilah terjadi pemisahan penderita
TB (Paru) dalam dua kelompok besar: Yang satu ke sarana DOTS dan satunya lagi
ke sarana Non DOTS.
Petugas kesehatan harus memahami
pentingnya momentum saat penderita masuk ke Sarana Pelayanan DOTS. Penyuluhan
dan motivasi harus dilakukan mulai saat menegakkan diagnosa, memulai pengobatan
sampai sembuh. Ketenagaan harus lengkap, termasuk tersedianya petugas
laboratorium dengan sarananya, Petugas harus memiliki pengetahuan komprehensif
mengenai TB dan mampu berkomunikasi dengan penderita, sehingga penderita yang
sudah datang dapat dipertahankan kedatangannya sampai sembuh.
Pemeriksaan laboratorium sering tidak
menjadi keinginan penderita. Maunya datang, diobati dan sembuh. Petugas harus
pandai menjelaskan perlunya pemeriksaan dahak yang tidak hanya sekali itu.
Jangan sampai penderita mundur sebelum diagnosa tegak, atau tidak muncul lagi
setelah hasil lab positif.
Guna menjamin ketaatan berobat dan
meyakinkan bahwa obat betul-betul ditelan, maka pengobatan TB perlu diawasi
langsung (Directly Observed Treatment). Karena petugas kesehatan tidak akan
mampu mengawasi semua penderita TB di wilayahnya, maka peran masyarakat sebagai
pengawas minum obat menjadi amat penting.
Ketersediaan obat harus dipertahankan.
Jangan sampai terjadi “stock out”. Adanya stock out adalah kesalahan sistem
distribusi logistik. Sangat disayangkan kalau penderita putus obat bukan karena kesalahan mereka,
kepercayaan kepada sistem kesehatan bisa pudar. Kualitas pelayanan pun akan
dipertanyakan.
KESIMPULAN
Tiga hal penting yang perlu
diperhatikan disini adalah:
1. Penderita yang pergi ke sarana non
DOTS
Perlu diciptakan jejaring sehingga
sarana non DOTS merujuk suspek TB Paru ke sarana DOTS. Akan lebih baik lagi
bila sarana non DOTS bisa dijadikan sarana DOTS. Dua sarana utama yang masih
banyak memberikan pelayanan non DOTS adalah Rumah Sakit dan Dokter Praktek
Swasta. Tantangan utama disini bukan profesionalisme pengobatannya tetapi
follow-up dan pengawasan minum obat. Oleh sebab itu sarana non DOTS yang sudah
menjadi DOTS perlu punya jejaring dengan Puskesmas. Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota memegang peran besar terhadap kata kunci yang satu ini: Networking
2. Penderita yang sudah ke sarana DOTS
Perlu dipertahankan sampai sembuh. Drop-out
harus dicegah, supervisi pengobatan dan kunjungan rumah perlu ditingkatkan.
Mutu pelayanan dijaga. Salah satu hal yang amat mempengaruhi mutu adalah waktu
tunggu yang lama. Oleh sebab itu petugas tidak hanya dituntut untuk memperhatikan kata kunci ini: Bekerja Efektif dan Efisien.
3. Penyuluhan kesehatan
Hal ini merupakan upaya
di “hulu”. penyuluhan di tempat penderita tinggal adalah penting sekali. Tujuannya adalah untuk meningkatkan
akseptabilitas, mengarahkan “health seeking behavior” dan memberikan pemahaman
bahwa TB paru dapat disembuhkan dengan Directly Observed Treatment yang Short
Course nya adalah 6 bulan. Sehingga sejak awal penderita sudah siap fisik dan
mental untuk berobat dengan DOTS. Kata kunci disini adalah Advokasi, Komunikasi dan Mobilisasi Sosial (IwMM)
No comments:
Post a Comment