Saturday, February 2, 2013

BARRIER PENGHALANG KESEMBUHAN TB PARU(2): SISTEM KESEHATAN

Melanjutkan tulisan Barrier penghalang kesembuhan TB Paru (1): Faktor Individu dan masyarakat, maka masih ada satu lagi barrier yang harus diatasi yaitu hambatan dalam sistem kesehatan itu sendiri. Demikian yang disebutkan dalam A Guide to Developing Knowledge,Attitude and Practice Surveys: Annex A, Cough to Cure Pathway (WHO, 2008).
 
Sistem kesehatan yang berfungsi baik akan mendukung keberhasilan pengobatan TB Paru dengan DOTS. Oleh sebab itu "Health System Strenghtening" adalah salah satu pilar keberhasilan dalam upaya pengendalian penyakit Tuberkulosis
 
 
SISTEM KESEHATAN
 
Sistem Kesehatan yang berfungsi baik, berarti sistem tersebut mampu memberikan akses yang adil bagi semua orang, memberikan jaminan terhadap pembiayaan kesehatan sekaligus  memberi peluang kepada  masyarakat untuk berperan-serta dalam pengambilan keputusan terkait dengan kesehatan masyarakat dan sistem kesehatan. Dengan demikian masyarakat akan terlindung dari penyakit, utamanya yang menjadi masalah kesehatan di wilayahnya, sehingga derajat kesehatan individu, keluarga dan masyarakat pun akan meningkat.  
 
Terdapat“6 Building Blocks” dalam Sistem Kesehatan yaitu: Pelayanan, Tenaga kesehatan, Informasi, Suplai dan tehnologi, Pembiayaan dan Leadership. Bila ke-enamnya berfungsi dengan baik maka akses, coverage, kualitas dan keamanan akan meningkat dan pada akhirnya derajat kesehatan masyarakat akan meningkat.
 
 
 
Sistem kesehatan yang tidak berfungsi dengan baik, akan menghambat pencapaian Universal Access karena availability of service tidak sempurna, selanjutnya berpengaruh pada coverage sehingga pelayanan kesehatan tidak memberikan outcome dan impact yang diharapkan.
 
 
BARRIER DALAM SISTEM KESEHATAN
 
Dengan mengasumsikan bahwa Sistem Kesehatan mulai berperan saat pasien mengetuk pintu pelayanan DOTS (dengan kata lain: Upaya pasien menuju sarana DOTS dianggap faktor individu dan masyarakat) maka hambatan-hambatan yang dapat kita temukan adalah:
 
Sistem yang tidak menyediakan pelayanan yang accessible (dapat dijangkau secara fisik) dan affordable (dapat dijangkau dari segi pembiayaan) akan mengurangi jumlah penderita yang menuju ke sarana pelayanan DOTS. Penderita yang sudah datang pun karena harus berobat selama enam bulan, bisa satu-satu menghentikan pengobatan mulai pada simpul diagnosa sampai tahap penyembuhan.
 
Satu hal lagi yang menghambat datangnya penderita ke pelayanan DOTS adalah adanya pelayanan lain yang non DOTS tetapi lebih mudah di akses. Apabila pemberi pelayanan non DOTS tersebut tidak memiliki pengetahuan mengenai pengobatan TB yang seharusnya, sekaligus tidak punya jejaring dengan pelayanan DOTS, maka nasib penderita kalau betul-betul TB sudah dapat dibayangkan. Disinilah terjadi pemisahan penderita TB (Paru) dalam dua kelompok besar: Yang satu ke sarana DOTS dan satunya lagi ke sarana Non DOTS.
 
Petugas kesehatan harus memahami pentingnya momentum saat penderita masuk ke Sarana Pelayanan DOTS. Penyuluhan dan motivasi harus dilakukan mulai saat menegakkan diagnosa, memulai pengobatan sampai sembuh. Ketenagaan harus lengkap, termasuk tersedianya petugas laboratorium dengan sarananya, Petugas harus memiliki pengetahuan komprehensif mengenai TB dan mampu berkomunikasi dengan penderita, sehingga penderita yang sudah datang dapat dipertahankan kedatangannya sampai sembuh.
 
Pemeriksaan laboratorium sering tidak menjadi keinginan penderita. Maunya datang, diobati dan sembuh. Petugas harus pandai menjelaskan perlunya pemeriksaan dahak yang tidak hanya sekali itu. Jangan sampai penderita mundur sebelum diagnosa tegak, atau tidak muncul lagi setelah hasil lab positif.
 
Guna menjamin ketaatan berobat dan meyakinkan bahwa obat betul-betul ditelan, maka pengobatan TB perlu diawasi langsung (Directly Observed Treatment). Karena petugas kesehatan tidak akan mampu mengawasi semua penderita TB di wilayahnya, maka peran masyarakat sebagai pengawas minum obat menjadi amat penting.
 
Ketersediaan obat harus dipertahankan. Jangan sampai terjadi “stock out”. Adanya stock out adalah kesalahan sistem distribusi logistik. Sangat disayangkan kalau penderita  putus obat bukan karena kesalahan mereka, kepercayaan kepada sistem kesehatan bisa pudar. Kualitas pelayanan pun akan dipertanyakan.
 
 
 
KESIMPULAN
 
Tiga hal penting yang perlu diperhatikan disini adalah:
 
1. Penderita yang pergi ke sarana non DOTS
 
Perlu diciptakan jejaring sehingga sarana non DOTS merujuk suspek TB Paru ke sarana DOTS. Akan lebih baik lagi bila sarana non DOTS bisa dijadikan sarana DOTS. Dua sarana utama yang masih banyak memberikan pelayanan non DOTS adalah Rumah Sakit dan Dokter Praktek Swasta. Tantangan utama disini bukan profesionalisme pengobatannya tetapi follow-up dan pengawasan minum obat. Oleh sebab itu sarana non DOTS yang sudah menjadi DOTS perlu punya jejaring dengan Puskesmas. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota memegang peran besar terhadap kata kunci yang satu ini: Networking
 
2. Penderita yang sudah ke sarana DOTS
 
Perlu dipertahankan sampai sembuh. Drop-out harus dicegah, supervisi pengobatan dan kunjungan rumah perlu ditingkatkan. Mutu pelayanan dijaga. Salah satu hal yang amat mempengaruhi mutu adalah waktu tunggu yang lama. Oleh sebab itu petugas tidak hanya dituntut untuk memperhatikan kata kunci ini: Bekerja Efektif dan Efisien.
 
3. Penyuluhan kesehatan
 
Hal ini merupakan upaya di “hulu”. penyuluhan di tempat penderita tinggal adalah penting sekali. Tujuannya adalah untuk meningkatkan akseptabilitas, mengarahkan “health seeking behavior” dan memberikan pemahaman bahwa TB paru dapat disembuhkan dengan Directly Observed Treatment yang Short Course nya adalah 6 bulan. Sehingga sejak awal penderita sudah siap fisik dan mental untuk berobat dengan DOTS. Kata kunci disini adalah Advokasi, Komunikasi  dan Mobilisasi Sosial (IwMM)

No comments:


Most Recent Post