Wednesday, December 26, 2012

MALARIA: BELAJAR DARI THE FALL OF THE ROMAN EMPIRE

Sejak ribuan tahun yang lalu Plasmodium adalah “frequent  flyers” dari maskapai penerbangan Anopheles Airlines dan tidak pernah berganti-ganti pesawat karena maskapai penerbangan ini benar-benar efektif serta dapat dipercaya.. Pada masa jaya dulu, tiga perempat bagian bumi bisa dikuasai Plasmodium bersama Anopheles Airlinesnya.
 
 
ORANG ROMA JAMAN DULU SUDAH TAHU KESEHATAN
 
gambar: www.rickonator.com
Orang Roma mengerti tentang kesehatan dan “men sana in corpore sano” adalah jalan hidup mereka. Mereka mengerti fitness, makanan bergizi dan kesehatan lingkungan. Mereka tahu bahwa semua penyakit punya riwayat alami, bahwa air-air tergenang menimbulkan penyakit.
 
Kalau sudah bicara tentang kesehatan masyarakat, maka kaya dan miskin bahu-membahu karena kesehatan adalah untuk semua, tanpa melihat status. Rumah-rumah mereka jauhkan dari rawa-rawa. Mereka tahu rawa-rawa menghasilkan udara tidak baik, dan tempat berbiak serangga-serangga penular penyakit. Dari situlah lahir nama penyakit “mal dan aria”. Walau mereka belum bisa melihat parasit malaria, belum bisa mengobati malaria, tetapi tahu cara mencegah anopheles airlines landing dan mengisi BBM.
 
Saat  itu peran tentara amat besar, maka markas tentara harus benar-benar jauh dari rawa, tersedia air bersih dan sarana MCK. Apabila harus bergerak maka para komandan diingatkan untuk tidak membuat kemah di dekat rawa. Tentara harus selalu bergerak dan tidak boleh tinggal terlalu lama di dekat rawa.
 
 
ANDIL ANOPHELES DALAM JATUHNYA KEKAISARAN ROMA
 
Ada peran Anopheles dalam kisah jatuhnya kekaisaran Roma, sehingga dikuasai orang-orang barbar, setelah 500 tahun berkuasa dengan tanah jajahan yang amat luas. Bayangkan mulai dari Skotlandia di belahan bumi bagian utara sampai ke padang pasir Afrika di belahan selatan bumi.
 
Andrew Thompson, dari BBC, 2011, menulis bahwa tahun lalu seorang scientist dari Inggris menemukan DNA malaria  dari situs di Roma yang diperkirakan berasal dari tahun 450M setelah melakukan penelitian selama 10 tahun.
 
Memang masa itu ada kisah-kisah KLB yang menyerupai malaria di Roma.
 
Columella, penulis masalah pertanian dan peternakan di Roma abad ke 1 Masehi menceriterakan bagaimana menderitanya para petani yang sakit waktu itu, sampai produksi berhenti dan suplai ke masyarakat tentusaja termasuk suplai ke tentara berhenti pula. Petani pada mengungsi minta pertolongan ke kota. KLB berlangsung 15 tahun dan merenggut nyawa kaisar Roma, Marcus Aurellius.
 
Tentara Roma kala itu banyak yang berasal dari pelosok yang mungkin kurang sehat. Orang sakit yang mengungsi ke kota, merupakan migran yang bisa membawa penyakit. Saat itu belum ada surveilans migrasi. Mungkin banyak rakyat hidup di perifer yang jauh dari upaya-upaya kesehatan masyarakat, mengingat wilayah Roma sangat luas.
 
 
EPILOG
 
gambar: www.cinemarx.ro
Memang bukan Anopheles satu-satunya penyebab runtuhnya kekaisaran Roma. Politik saat itu memang amat tidak stabil. Imbasnya kemana-mana. Kesehatan masyarakat yang tadinya baik menjadi terlupakan. Pertanian mundur, suplai makanan terputus, perekonomian rusak plus peran Anopheles yang mematikan dan melemahkan manusia.

Kita perlu belajar bahwa malaria dapat menimbulkan economic loss. kerugian ekonomi akibat malaria di Indonesia, dengan 107 juta penduduk hidup di daerah endemis bila dihitung bisa sekitar Rp. 3,1 trilyin setahunnya.
 
Bangsa barbar yang tadinya bukan masalah, menjadi kekuatan yang tidak dapat lagi dibendung. Jatuhlah Roma.
 
Para ahli sejarah berpendapat bahwa kejatuhan Roma karena kombinasi berbagai faktor. “The fall of the Roman Empire” penyebabnya bukan faktor tunggal, tapi dari yang bukan tunggal itu, ada kontribusi Anopheles didalamnya.

Monday, December 24, 2012

SEBUAH TANTANGAN: STOP DIAGNOSA “MALARIA KLINIS”

Diagnosa secara klinis dalam pengertian awam adalah diagnosa berdasarkan gejala tanpa dukungan pemeriksaan penunjang, yaitu laboratorium. Misalnya kalau ada orang sakit panas selang-seling dengan dingin, dikatakan klinis malaria.
 
Jaman dulu di puskesmas walaupun ada mikroskop, tetapi banyak yang tidak ada petugasnya. Kalau petugasnya ada, reagennya yang tidak ada, sehingga tetap tidak mungkin dilakukan diagnosa pasti. Laporan puskesmas akan berbunyi “malaria klinis”. Kita tidak bisa membedakan apakah disebabkan Plasmodium falciparum, vivax, malariae atau ovale.
Di daerah endemis malaria situasinya beda. Karena endemis maka ada program yang didukung anggaran, melalui proyek atau bantuan luar negeri. Petugas ada dan terlatih, kelengkapan laboratorium memadai.
 
DARI PANAS TIS SAMPAI DEMAM GOYANG
Di Jawa “doeloe” ada istilah “panas tis” panas dan atis (kedinginan). Kira-kira istilah rakyat ini untuk menggambarkan “malaria klinis”. Ada panas yang diselingi kedinginan sampai menggigil”. Jaman saya SD sudah jarang mendengar. Kemungkinan berkat hasil pengendalian malaria di Jawa pada masa Kopem dulu, 1960an. kalau ada panas, kala itu yang lebih sering terdengar adalah kata “Verdag Typhus”.
Sampai lulus dokter, saya tidak pernah melihat kasus malaria satu pun. Hanya bisa melihat plasmodiumnya, waktu praktikum di Lab parasitologi, itupun preparat awetan. Tiga hari jadi dokter Puskesmas di Maluku Utara, langsung melihat dengan mata kepala sendiri, pasien “demam goyang” pada saat “goyang”. Tanpa pemeriksaan lab, Pak Mantri kala itu bisa mengatakan Malaria Vivax.
Kumat malaria, sepertinya pada masa itu dianggap biasa-biasa saja. Seorang pasien datang dengan keluhan “belakang sakit” dan buru-buru melanjutkan bahwa malarianya mau kambuh. Obat Malaria, chloroquin, berlimpah di Puskesmas. Obat suntik juga ada: Chloroquin dan Chinin Antipirin. Laboratorium tidak ada; jadi ya dokter ikut pasien saja yang sudah hapal gejalanya. Ada keuntungannya, kalau memang malaria, pasien akan sembuh. Kalau bukan malaria, namanya jadi overdiagnosis dan data malaria menjadi tidak akurat.
 
ERA DIAGNOSA KLINIS SUDAH BERLALU
“Stop malaria klinis” adalah salah satu kebijakan pengendalian Malaria di Indonesia. Sungguh tantangan yang berat tapi harus dilaksanakan. Pada Goal ke 6 Millennium Development Goals (MDGs) yang dimaksud dengan “penurunan” adalah diagnosa malaria dengan konfirmasi laboratorium: Mikroskopis atau dengan Rapid Diagnostic Test (RDT).
Ada beberapa alasan untuk ini: Kalau kita ingin mendapatkan sertifikasi bebas malaria dari WHO (direncanakan tahun 2030) memang harus berbasis bukti. Dalam hal ini mikroskopis atau RDT. Disisi lain,  secara manajemen memang menyalahi aturan standar pengobatan malaria yang digunakan sekarang. Pengobatan dengan kombinasi Artemisinin harus didukung dengan hasil laboratorium. Dengan demikian penggunaan obat tidak sia-sia; begitu pula dari sisi anggaran, pengobatan kombinasi dengan obat baru harganya lebih mahal dibandingkan jaman “monoterapi” dengan chloroquin. Jadi: Dengan konfirmasi laboratorium, efisiensi anggaran dan efektifitas pengobatan lebih dijamin.
 
TANTANGANNYA: KETERSEDIAAN PENUNJANG DIAGNOSTIK
“Itu yang namanya kerja profesional, mas”, demikian komentar seorang teman. Memang betul apa yang dia katakan. Semua harus  berbasis bukti. Untuk malaria harus bisa menemukan plasmodiumnya secara pemeriksaan mikroskopis, atau jejak plasmodiumnya dengan pemeriksaan RDT. Saya bayangkan seorang hakim, kalau barang bukti tidak cukup, berkas dikembalikan. Tersangka sementara masih bebas. Tetapi kalau sudah jelas “demam goyang”  dan penderitanya tinggal di daerah endemis apa ya menunggu hasil lab?
Pemeriksaan laboratorium adalah suatu keharusan sebelum diberikan pengobatan kombinasi artemisinin kalau sarananya tersedia: Mikroskop lengkap dengan reagensianya atau RDT plus tenaga laboratorium yang terlatih. Karena kita punya kebijakan “Stop monoterapi” maka kita punya kewajiban untuk meningkatkan kapasitas (capacity building) dan mencukupi logistik, baik obat maupun sarana penunjang diagnostik.
 
EPILOG:
Seorang dokter Puskesmas di daerah terpencil sedang memeriksa pasien yang tampak lemah. Ia mencurigai malaria; obat ada, tetapi mikroskop dan RDT tidak tersedia. Sebelum menetapkan diagnosa (yang pasti “klinis”) ia menanyai sekali lagi pasiennya: “Bapak demam tinggi, kemudian dingin lalu menggigil. Apakah Bapak punya pendapat tentang penyakit Bapak?”
Pasien menjawab dengan ekspresi tidak senang: “Dok, waktu demam kepala saya seperti mau pecah, saya tidak bisa berpikir. Waktu menggigil, badan gemetar dan gigi berderak. Jadi saya tidak bisa memberi pendapat”.
Pak dokter yang hapaL Klasifikasi Internasional Penyakit versi 2010 (ICD-10) langsung menulis B 54 (Kapling Malaria adalah B 50-54 dan B 54 adalah “clinically diagnosed malaria without parasitological confirmation”) alias malaria klinis. (IwMM)

Saturday, December 22, 2012

NYAMUK MENGGESER JAM GIGIT DAN PINDAH TEMPAT MENYERGAP

Kelambu berinsektisida (LLINs) merupakan senjata utama dalam “global fight against malaria”. WHO menyatakan bahwa dalam setahun malaria membunuh lebih dari 650 ribu orang (utamanya di Afrika).
 
Adalah Amy Norton, dari Reuter, yang mengisahkan bahwa setelah dua desa di Afrika menggunakan kelambu, maka nyamuk setempat mengubah perilaku gigitnya. Menggeser jam gigit dan tempat gigit.
 
Ia menulis berdasarkan penelitian Vincent Corbel, dkk, dari Montpellier, France-based Institute of Research for Development, berjudul “Changes in Anopheles funestus Biting Behavior Following Universal Coverage of Long-Lasting Insecticidal Nets in Benin”, yang dimuat di Oxford journal.
 
Sebenarnya bukan hal aneh mengingat semua makhluk punya instink untuk mempertahankan hidup, apalagi yang ini adalah urusan mengisi perut. Tetapi karena masalahnya menjadi urusan keselamatan manusia, ceriteranya menjadi lain walaupun penelitiannya hanya di dua desa di Benin, Afrika.
 
 
JANGAN KEBURU TAKUT

Don Marquis
Sepertinya nyamuk tidak membiarkan manusia hidup dengan tenang. Atau manusia memang mangsanya nyamuk, seperti dikatakan oleh Don Marquis, seorang novelist Amerika (1878-1937): “A man thinks he amounts to a great deal but to a flea or a mosquito a human being is merely something good to eat”. Manusia jangan merasa hebat sendiri karena bagi nyamuk ia hanyalah sesuatu yang enak untuk dimakan.
Dalam tulisan “Dimana dan kapan nyamuk malaria menyergap kita” telah dijelaskan bahwa ada yang menggigit di luar rumah (exophagic) ada pula yang menggigit di dalam rumah (endophagic). Demikian pula jam gigitnya adalah malam hari dengan pembagian jam yang berbeda antar spesies. Ada yang agak sorean, ada yang tengah malam dan ada yang menjelang pagi.
Yang diteliti adalah Anopheles funestus, salah satu spesies terbesar di Afrika, yang kebetulan tidak termasuk dalam daftar 25 spesies Anopheles di Indonesia. Mudah-mudahan saja kalau si funestus ini cerdas, yang ada di Indonesia tidak secerdas dia. Tetapi kalau karena instink, ya tidak tahu lagi. Walaupun demikian jangan keburu takut, karena menurut Thomas Eisele, dari the Tulane University School of Public Health and Tropical Medicine, New Orleans, meneliti gigitan nyamuk akan banyak errorrnya.
Corbel menyatakan bahwa 3 tahun setelah “universal coverage” kelambu di desa itu, nyamuk Anopheles funestus yang puncak gigitannya biasa antara jam 2-3 pagi bergeser menjadi jam 5 pagi. Bahkan 26 % masih menggigit setelah jam 6 pagi.
Sedangkan untuk gigitan di luar rumah (Outdoor Biting) meningkat dari 45% menjadi 68% setelah 1 tahun kelambunisasi, dan 61% seleh 3 tahun penggunaan kelambu. Hal ini mengkhawatirkan karena penduduk desa biasa bangun pagi-pagi sekali untuk bekerja di kebun. Tentusaja sudah keluar dari lindungan kelambu.
 
EPILOG
Dua hal yang perlu kita perhatikan:
1.    Jangan terpaku pada rumus bahwa nyamuk Anopheles hanya menggigit pada malam hari

2.    LLINs digunakan untuik melindungi manusia dari gigitan nyamuk pada malam hari dan yang lebih penting lagi saat manusia tidur. Bila nyamuk menggeser jam gigit dan pindah menggigit di luar rumah, maka kelambu yang saat ini dinilai amat efektif bisa berkurang tingkat efektifitasnya.
Hasil penelitian di dua desa dalam beberapa tahun saja memang belum cukup untuk mendeteksi pergeseran perilaku nyamuk apalagi digeneralisasi secara global. Walaupun demikian kita telah diingatkan bahwa manusia jangan cepat puas dengan hasil yang ia capai. (IwMM)

Thursday, December 20, 2012

STIGMA DAN DISKRIMINASI (4): MENDUNG SEGERA BERLALU


“Health, HIV and human rights are inextricably linked. HIV responses need to ensure that human rights are protected and promoted. At the same time, the promotion and protection of human rights reduces HIV risk and vulnerability and makes HIV programmes more effective.
 
Those populations most vulnerable and at risk of HIV are often the same populations prone to human rights violations. HIV policies and programmes in the health sector must promote human rights and empower individuals to exercise their rights.”

Kalimat di atas disampaikan oleh Margaret Chan, Dirjen WHO pada statement Hari AIDS Sedunia 2010, dua tahun lalu. Ada tiga hal yang saling terkait: Health, HIV dan Human Right. Kebetulan semua diawali dengan huruf “H” menjadi 3H.
Kita garisbawahi bahwa pengabaian “human right” erat kaitannya dengan “stigma dan diskriminasi” yang justru menghambat upaya untuk mengendalikan HIV dam AIDS.
Lalu bagaimana cara kita mengatasinya? Bagaimana kita mengubah attitude negatif tersebut? Ada dua intervensi yang harus saling bergandengan, yaitu: Hukum dan Edukasi
 
MENGENAI HUKUM DAN EDUKASI: APA KATA MEREKA?
Kepemimpinan menjadi amat penting: “The fight against HIV/AIDS requires leadership from all parts of government - and it needs to go right to the top. AIDS is far more than a health crisis. It is a threat to development itself.”  Demikian dikatakan oleh Kofi Annan, Sekjen PBB. Sementara Ban Ki-moon, penggantinya, dalam menyoroti aspek hukum menjelaskan: "We can fight stigma. Enlightened laws and policies are key. But it begins with openness, the courage to speak out”. Keterbukaan dan keberanian bicara. Demikian Ban Ki-moon.
Pendidikan ternyata memegang peran kunci. Hal ini didukung oleh Shakira dalam posisinya sebagai Goodwill Ambassador Unicef, bahwa pendidikanlah yang paling efektif: “I’m a firm believer that education is the most efficient tool we have to make people aware and make our children aware, and to protect them from the scourge of the century, which is AIDS.”
Upaya meningkatkan pengetahuan, baik di tingkat lokal maupun nasional menjadi amat penting guna menciptakan lingkungan yang lebih bersahabat bagi ODHA Mereka juga anggota masyarakat yang sama kedudukannya dengan yang lain.
Peraturan perundang-undangan memang bisa dibuat secara khusus untuk melindungi hak asasi ODHA. Tetapi “hukum” yang berdiri sendirian tidak akan mampu mengatasi stigma dan diskriminasi selama masyarakat masih belum mempunyai pengetahuan dan pengertian yang benar tentang HIV/AIDS.
Ban Ki-moon, Shakira, Kofi Annan
 
BEBERAPA PENYEBAB STIGMA SEBENARNYA SUDAH DIANTISIPASI
Bahwa HIV/AIDS adalah amat menular, tidak dapat dicegah maupun diobati dan mematikan merupakan salah satu penyebab timbulnya stigma dan diskriminasi. Hal tersebut tidak benar. Itu pendapat dulu waktu AIDS pertama kali dikenal kira-kira tahun 1980an. Yang benar adalah:
1.    HIV/AIDS hanya menular dengan cara tertentu, oleh orang yang HIV positif melalui hubungan seksual tidak aman, darah dan produk darah lainnya yang tercemar HIV dan dari Ibu HIV positif kepada janin dalam kandungannya.

2.    HIV/AIDS dapat dihindari dan dicegah dengan tidak melakukan perilaku berisiko tertular.

3.    Ketersediaan obat (ARV) cuma-cuma dan meningkatnya akses ke fasilitas kesehatan menunjukkan hasil positif. Tidak hanya umur harapan hidup ODHA yang meningkat, tetapi juga kualitas hidupnya..
Kesimpulannya adalah: Beberapa penyebab stigma yang berlanjut dengan diskriminasi sebenarnya sudah berhasil diatasi. Mestinya masyarakat tidak usah terlalu takut lagi pada AIDS. Orang-orang yang ingin mengetahui status HIVnya seharusnya tidak segan-segan lagi untuk testing dan mendapatkan pengobatan bila diperlukan.
 
EPILOG:
Menyimpulkan tulisan ini, saya  cuplik release yang disiarkan Pusat Komunikasi Publik, Kemenkes RI. Dalam salah satu rangkaian kegiatan Hari AIDS Sedunia tahun 2012.
Menteri Kesehatan RI, dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH, mengajak kita semua: “Mari tingkatkan kepedulian kita. Bila ada orang yang terinfeksi HIV di sekitar kita, tetaplah mendukung dan jangan didiskriminasi”.
Kata kuncinya adalah: Peduli dan Tidak Diskriminasi.
Mari kita ikuti  supaya mendung stigma dan diskriminasi segera menyingkir, sehingga salah satu dari “tiga zero” yang merupakan tujuan kita bersama, yaitu “zero discrimination” segera terwujud. (IwMM)

Wednesday, December 19, 2012

STIGMA DAN DISKRIMINASI (3): MEMBERI PENYULUHAN BUKANNYA ENTENG

Pada acara Gerakan Stop Buang Air Besar Sembarangan di suatu kabupaten, setelah mencanangkan Pak Bupati meminta Wakil Bupati maju untuk memberikan pengarahan. Teamwork yang bagus, pikir saya. Tetapi ternyata Pak Wakil Bupati yang bukan dokter atau sarjana kesehatan begitu piawainya membawa kita dalam perjalanan mulai dari makan sampai mencret, diseling humor dan Hadis Nabi. Selesai acara, waktu istirahat saya tanya: “Kalau ada penyuluhan HIV/AIDS mestinya Bapak yang maju”.
 
Beliau diam sejenak. “Untuk AIDS, saya ragu dan tidak bisa ngomong lepas seperti ini. Apalagi kalau yang hadir orangnya heterogen. Saya takut salah ngomong, terus dikatakan vulgar.”
 
 
BICARA HARUS HATI-HATI
 
Benar apa yang dikatakan Pak Wabup. Memiliki kompetensi teknis masih belum cukup. Harus dilandasi kehati-hatian. Dari hasil tukar pendapat dengan beliau, saya catat hal-hal yang perlu disiapkan sebelum tampil adalah:

1.    Tahu tujuan bicara dan siap dengan materi yang akan disampaikan. Dua-duanya harus kita pegang dan jangan mengandalkan jam terbang. Pilot berpengalaman pun bisa tergelincir

2.    Tahu akan bicara kepada siapa. Apakah kepada masyarakat umum, masyarakat sekolahan, masyarakat pesantren, ibu-ibu PKK, pegawai negeri, angkatan bersenjata, dll. Tiap kelompok cara menghadapinya tidak sama. Bicara dengan kelompok yang heterogen lebih sulit daripada dengan kelompok homogen. Jangan berani-berani terjun bebas.

3.    Bila bicara di hadapan masyarakat harus tahu tingkat intelektual dan adat-istiadat masyarakat setempat, supaya bisa diserap dan tidak dikatakan tidak tahu adat. Lebih bagus kalau bisa datang lebih awal, omong-omong dulu dengan tokoh setempat sambil menggali hal-hal yang disukai dan tidak disukai di tempat itu.

4.    Sampaikan dengan bahasa yang dapat dipahami awam. Boleh sedikit melawak tetapi jangan terlena dengan lawakan karena kita bukan pelawak. Salah-salah kelepasan omong padahal yang diomongkan salah. Sesuatu yang sudah keluar dari mulut tidak bisa ditarik kembali.

Kelihatannya ya hanya empat butir itu yang dapat saya serap. Atau mungkin ditambah satu yang ini. Waktu saya pamitan Pak Wabup mengatakan: “Nanti Pak Dokter pasti jadi pembicara yang baik, atau sebaliknya; Tidak berani bicara samasekali”.
 
 
EPILOG
 
Stigma bisa terjadi dimana saja: Di keluarga, di masyarakat, di kantor pemerintah maupun swasta, di sekolah, di tempat-tempat kerja dll. Sasarannya juga bisa dilihat dari gender termasuk kelompok umur, tingkat intelektualitas dan sosial ekonomi, pandangan hidup, dan masih banyak lagi.
 
Kebetulan saya baca di Website Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kemenkes RI, Pak Dirjen, Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, menyampaikan beberapa hal penting mengenai Pengendalian HIV-AIDS & IMS di Indonesia, antara lain meningkatkan advokasi, dan sosialisasi dengan mengutamakan program berbasis masyarakat, meningkatkan jejaring kerja, kemitraan dan kerja sama.
 
Upaya meningkatkan pengetahuan memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada yang harus melalui advokasi, ada yang melalui komunikasi, ada juga yang melalui sosialisasi, dan tidak mungkin dilakukan tanpa mobilisasi sosial. Semua unsur pemerintah dan masyarakat harus digerakkan sesuai bidang tugas dan peminatan masing-masing.
 

gambar kiri dari www.tangerangkota.go.id dan kanan dari blogs.unpad.ac.id
 




Tuesday, December 18, 2012

STIGMA DAN DISKRIMINASI (2): SOLUSINYA MENINGKATKAN PENGETAHUAN



Berangkat dari ketidak-tahuan mengenai (5W  + 1H) HIV/AIDS apalagi kalau ditambah dengan informasi yang tidak benar akan menimbulkan perasaan takut kepada HIV/AIDS termasuk ODHAnya. Rasa takut akan menimbulkan “stigma” dan stigma menghasilkan tindakan diskriminatif. Karena ada “stigma + diskriminasi” maka orang jadi enggan bicara tentang HIV/AIDS, enggan mengetahui status HIVnya, enggan pergi ke fasilitas kesehatan, dan tentusaja kalau memerlukan ARV tidak akan mendapatkannya karena enggan untuk pergi ke fasilitas kesehatan, sekalipun sudah tahu bahwa ARV gratis. Kematian akan semakin tinggi, ketakutan semakin menjadi dan stigmatisasi makin merajalela. Terjadilah “lingkaran setan” atau circulus viciosus” yang berputar terus sampai habisnya manusia.
 
KARENA KETIDAK-TAHUAN DAN KETIDAK-PEDULIAN
Tujuan pengendalian HIV/AIDS di Indonesia adalah menurunnya jumlah kasus baru HIV (target jangka panjang: zero new infection), menurunnya tingkat diskriminasi (target jangka panjang: zero discrimination), dan menurunnya angka kematian AIDS (target jangka panjang: zero AIDS related deaths) serendah mungkin serta meningkatnya kualitas hidup ODHA, demikian disampaikan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL), Kemenkes RI, Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama akhir Nopember lalu.
Dalam kaitan dengan upaya mencapai Zero discrimination beliau mengatakan bahwa stigma dan diskriminasi disebabkan oleh ketidaktahuan dan ketidak pedulian, sehingga cara yang terbaik untuk mengatasinya adalah dengan meningkatkan pengetahuan dan meningkatkan kepedulian akan kebutuhan pribadi dan orang lain.
Berdasarkan UU Kesehatan dan UU HAM, Kesehatan adalah Hak Asasi Manusia yang meliputi hak untuk mengetahui dan melindungi kondisi kesehatan pribadi, hak untuk mempertahankan derajat kesehatan pribadi serta hak untuk meningkatkan kesehatan pribadi keluarga dan masyarakat. Demikian Prof. Tjandra menambahkan.
Bila pengetahuan komprehensif masyarakat mengenai HIV/AIDS baik, maka hal-hal positif yang terjadi antara lain:
1.    Masyarakat dapat melaksanakan sendiri perilaku hidup yang tidak berisiko terhadap penularan HIV/AIDS. Walaupun AIDS belum ada obat yang menyembuhkan tuntas, tetapi AIDS dapat dicegah dan dihindari.

2.    Karena sudah punya pengetahuan, maka stigmatisasi menurun dan otomatis diskriminasi juga turun. Berkurangnya perbedaan perlakuan, penolakan dan pembatasan akan meningkatkan kualitas hidup ODHA baik jasmani, rohani dan sosial.

3.    Orang tidak takut lagi meminta testing untuk mengetahui status HIVnya. Dengan mengetahui status HIV maka kita dapat mengambil langkah-langkah terbaik bagi yang kemudian ternyata HIV positif maupun yang HIV negatif 

4.    ODHA dapat dengan mudah mengakses ARV. Dengan akses obat yang lancar dan berkesinambungan, kualitas dan umur harapan hidup akan meningkat. Stigma semakin berkurang karena kematian dan kondisi buruk sebagai salah satu penyebab stigma sudah tereliminasi.

 
EPILOG

Lingkaran setan pun menjadi berbalik kata: masyarakat menjadi semakin tahu, makin tidak takut, makin tidak ada stigma, makin tidak ada diskriminasi, dan seterusnya sampai tercapai cita-cita: Zero discrimination yang kontribusinya amat besar dalam menghentikan penularan dan menghentikan kematian yang berhubungan dengan AIDS. Sayang bahwa perjalanan kita tidak selamanya lancar. Apalagi yang kita hadapi adalah stigma dan diskriminasi. HIV/AIDS adalah sesuatu yang sensitif sehingga dalam memberikan penyuluhan tidak boleh gegabah. Oleh sebab itu dikatakan “tantangan” sekaligus “ancaman”. (IwMM)
 
Dilanjutkan ke Memberikan penyuluhan: Tidak segampang itu

STIGMA DAN DISKRIMINASI (1): TANTANGAN PENGENDALIAN HIV/AIDS

Kata “stigma” konon berasal dari Yunani jaman dulu,  untuk menyebut  bekas luka akibat kulit ditempel besi panas yang dilakukan pada budak, penjahat atau orang-orang yang dianggap kriminal lainnya, sehingga mudah diidentifikasi sebagai orang yang hina atau harus dijauhi. Stigma juga bisa diartikan sebagai “label” untuk orang-orang yang tidak dikehendaki.
 
Dalam pengertian yang sederhana, stigma adalah sikap atau attitude negatif yang terkait dengan keyakinan atau pengetahuan seseorang. Sedangkan diskriminasi adalah perilaku atau action yang dilakukan. Dengan demikian asal-usul terjadinya “stigma” dan “diskriminasi” adalah dari pandangan negatif terhadap orang atau kelompok tertentu yang dianggap mempunyai sesuatu yang tidak baik.
 
Upaya menghilangkannya tentu dengan menghapus pandangan negatif tersebut melalui peningkatan pengetahuan masyarakat. Inilah tantangan besar kita dalam upaya “stop stigma and discrimination”. Khususnya dalam pengendalian HIV/AIDS
 
 
STIGMA DAN DISKRIMINASI: BANYAK DIKAITKAN DENGAN HIV/AIDS
 
Stigmatisasi dan diskriminasi sebenarnya tidak hanya dialami ODHA. Sebelum ada HIV/AIDS, para penyandang kusta maupun orang-orang yang pernah menyandang kusta merasakan pengalaman tidak menyenangkan dengan adanya stigma dan diskriminasi ini. Dengan ditemukannya obat MDT yang bisa menyembuhkan kusta tanpa cacat asal penyakitnya ditemukan dini dan berobat teratur selama minimal 6 bulan, pandangan dan sikap negatif ini mulai hilang.
 
Hippocrates konon melarang murid-muridnya mengunjungi penderita “Phthisis” (sebutan TB Paru pada waktu itu) karena akan menurunkan kredibilitas tabib, sebab tidak mampu menyembuhkan. Berarti ada perlakuan beda untuk penderita TB.
 
Dibandingkan TB Paru dan Kusta, yang sudah ada sejak ribuan tahun lalu, AIDS adalah sesuatu yang amat baru. Indonesia baru mengenal AIDS pada tahun 1987. Adalah wajar kalau kemudian ada pandangan dan kepercayaan-kepercayaan yang salah mengenai HIV/AIDS ini. Apalagi pada awal-awal masuknya HIV/AIDS, label tentang Tidak ada obat, kematian, seks, obat bius dan moral melekat amat erat dengan HIV/AIDS.
 
Masalahnya sekarang ini adalah abad ke 21, abad kemajuan. Kalau ada stigma dan diskriminasi, mestinya ya pada awal-awal dikenalnya penyakit. Sekarang sudah waktunya menuju ke “Zero discrimination”.

Beberapa hal yang mendukung timbulnya stigma antara lain: HIV/AIDS dikaitkan dengan ketiadaan obat dan kematian; Dikaitkan dengan perilaku seksual yang justru sudah merupakan stigma tersendiri  di beberapa kelompok masyarakat; pandangan moral dan ketidak tahuan serta informasi yang salah tentang HIV/AIDS
 
STIGMA DAN DISKRIMINASI: BARRIER UTAMA PENGENDALIAN HIV/AIDS
Sekjen PBB: Ban Ki-moon
“AIDS related stigma” akan diikuti dengan diskriminasi, misalnya perlakuan negatif dan pembatasan-pembatasan kesempatan yang bisa mempengaruhi seluruh aspek kehidupan ODHA: Mulai dari pergaulan sosial, kesempatan memperoleh pendidikan dan pekerjaan, pelayanan kesehatan, bepergian, dan lain-lain. Hal ini justru menghambat upaya pengendalian HIV/AIDS, membuat AIDS tetap menjadi “the silent killer” seperti dikatakan Sekjen PBB, Ban Ki-moon pada International AIDS Conference di Mexico City, 6 Agustus 2008 yang dikutip The Washington Times:
Stigma remains the single most important barrier to public action. It is the main reason too many people are afraid to see a doctor to determine whether they have the disease, or to seek treatment if so. It helps make AIDS the silent killer, because people fear the social disgrace of speaking about it, or taking easily available precautions. Stigma is a chief reason the AIDS epidemic continues to devastate societies around the world.
 
KESIMPULAN
Ketidak-tahuan bisa diakibatkan karena orang memang tidak tahu atau memperoleh informasi yang salah. Hal ini akan menimbulkan sikap atau attitude negatif yaitu “stigma” yang memberi label atau cap kepada ODHA dengan predikat-predikat yang tidak baik. Akibat dari sikap tersebut tumbuhlah perilaku diskriminatif, dimana yang paling menonjol adalah: perbedaan perlakuan, penolakan dan pembatasan.
Satu-satunya yang diuntungkan dengan adanya Stigma dan diskriminasi hanyalah virus AIDS, karena banyak orang takut mengetahui status HIVnya, dan yang sudah tahu kalau dirinya HIV positif akan kesulitan mengakses pelayanan. Penularan dan kematian yang terkait dengan AIDS akan jalan terus. Inilah tantangan sekaligus ancaman stigma dan diskriminasi harus dijawab.

Sunday, December 16, 2012

KELAMBU DIPAKAI UNTUK MENJARING IKAN



Kelambu LLINs dibuat dari bahan sintetis yang kuat dan di “impregnasi” dengan insektisida, bukan sekedar dicelup. WHO memberikan spesifikasi teknis, efektif dipakai selama lima tahun atau dicuci sampai 20 kali. Jadi kalau tiga bulan sekali dicuci, klop untuk penggunaan lima tahun.
Harga per unit tidak mahal, dalam kisaran $ 5. Jadi kalau satu US Dollar setahunnya dengan jaminan proteksi aman dari malaria, bahkan dalam jangka panjang akan menurunkan populasi nyamuk secara bermakna, tentunya (meminjam istilah jaman agak dulu) “kelambunisasi” adalah langkah yang amat strategis.
“Apalagi kelambunya dikasih cuma-cuma, alias gratis”, demikian teman saya menimpali. Saya cuma senyum-senyum kecut: “Kita udah nyiapin exit strategy, Dik. Dua tahun lagi pasti beli sendiri dan tetap diberikan cuma-cuma kepada rakyat”.
“Asal memakainya betul saja. Ada yang dipakai menjaring ikan lho Mas”. Hal ini tidak saya bantah. Hanya saya katakan “kasuistik” sehingga tidak perlu dijadikan bahan pergunjingan. Kalau hal itu terjadi di negara kita, sebagai sesama anak bangsa jangan saling menelanjangi lah. Tapi kita juga jangan memberi peluang si pemberi kelambu yang dari negara kaya itu men”stupid-stupid”kan kita hanya karena masalah kelambu berinsektisida. Buktinya API (Annual Parasite Incidence) Malaria untuk negara kita sudah turun sampai 1,7 per seribu penduduk.
 
MENGAPA KELAMBU BERINSEKTISIDA DIGUNAKAN UNTUK KEPERLUAN LAIN
Kalau kita browsing di internet, memang ada beberapa tulisan mengenai hal ini. Ada satu tulisan yang saya senang membacanya, oleh Bernard Okebe dari Kenya di http://trial.eyesonmalaria.org/content/fishing-mosquito-nets ia berceritera tentang Duncan Nyambege, seorang pencari ikan. Nyambege setuju bahwa malaria adalah penyakit berbahaya. Tetapi ia juga melihat peluang lain yang bisa dimanfaatkan dengan adanya LLINs (Kelambu berinsektisida) disamping ia kesulitan dalam men “set up” kelambu di tempat tidur. Sakit malaria bisa diatasi dengan pergi ke klinik tetapi perut lapar hanya bisa diobati dengan cari makan. Dalam hal ini LLINs amat membantu.
Nyambege tentunya tidak berpikir bahwa dengan kecilnya lobang kelambu, maka ikan yang masih amat muda pun akan terjaring. Dalam jangka tidak terlalu lama populasi ikan akan semakin turun. Ia juga tidak memikirkan bahaya pencemaran insektisida di lingkungan.
Beda dengan Nyambege yang bermukim di tepian danau, maka Magdalina Odongo, adalah seorang ibu yang bertempat tinggal di daerah pertanian. Ia melihat LLINs amat bermanfaat untuk melindungi bibit tanamannya dari serangga. Oleh sebab itu LLINs yang ia terima dari petugas kesehatan digunakannya untuk melindungi tanamannya yang masih kecil-kecil.
Ternyata memang betul bahwa masih ada “gap” antara “needs” masyarakat menurut pandangan kita dengan “demand” masyarakat menurut pandangan mereka.
 
PENYULUHAN HARUS DITINGKATKAN, SASARAN PENYULUHAN HARUS TEPAT

Sudah benar sekali apa yang dilakukan, bahwa untuk menjangkau sasaran ibu dan balitanya, maka distribusi dilakukan di klinik KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) atau pada pelayanan Imunisasi. Sudah benar bahwa sebelum diberi kelambu, diberikan penyuluhan tentang manfaat kelambu dan cara penggunaannya. Demikian pula benar sekali bahwa ibu-ibu amat gembira pulang bawa kelambu.
Masalah timbul ketika ibu-ibu pulang, bapak-bapak yang diminta memasang kelambu tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Kecuali ada petugas atau kader malaria yang mengikuti. Akhirnya kalau mereka kemudian meniru apa yang dilakukan Nyambega dan Odongo, ya jangan disalahkan. Kalau sampai masyarakat tidak tahu kemudian dikata-katai dengan bahasa kasar “misuse” maka sebenarnya salah ada pada petugas yang menyandang predikat “abdi masyarakat”.  
The wrong perceptions and practices about the mosquito nets among certain communities, confirm that the population needs more intensive education about the fight against malaria.
 

Thursday, December 13, 2012

MENCEGAH HIV/AIDS: PERAN LAKI-LAKI SANGAT BESAR


“Lindungi Perempuan dan Anak dari HIV dan AIDS adalah tema Nasional Hari AIDS Sedunia  tahun 2012. Hal ini sejalan dengan tema pokok global yaitu Getting to Zero: Zero Transmission, Zero Discrimination dan Zero AIDS related death. Salah satu cara penularan HIV adalah dari ibu HIV positif kepada janin dalam kandungannya, dan wanita beserta anak termasuk salah satu obyek utama diskriminasi.
 
Saya kutip dari website Kementerian Kesehatan RI yang disiarkan Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI pada tanggal 9 Desember2012 sebagai berikut:
 
Menkes RI,  dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH, menegaskan, peran laki-laki dalam pencegahan HIV/AIDS sangat penting, karena mereka harus sadar bahwa mereka harus bertanggung jawab terhadap istri dan keluarganya, yakni dengan tidak melakukan praktek seksual beresiko yang akan membahayakan generasi penerus bangsa. Menkes juga menyampaikan  kalau laki-laki bertanggung jawab, dia akan menghormati perempuan, maka dia bisa melindungi perempuan”. Menkes menegaskan kembali bahwa hal terpenting adalah kesadaran akan pencegahan, yang merupakan HULU dari upaya pengendalian HIV dan penyakit kelamin.
 
 
SEMUA BERANGKAT DARI “KELUARGA”
 
Semua berangkat dari rumah dan semua berangkat dari keluarga. Dalam struktur organisasi keluarga, suami mempunyai jabatan strategis yaitu “Kepala keluarga”. Sudah jamak bahwa yang namanya jabatan bisa disalah-gunakan. Dalam kedudukan perempuan yang mempunyai “posisi tawar” rendah, maka siapa yang akan mengontrol suami?
 
Penyalahgunaan wewenang dalam jabatan keluarga terkait dengan upaya pengendalian HIV/AIDS adalah seperti apa yang disampaikan menkes di atas: laki-laki jangan melakukan praktek seksual berisiko. Memang benar, kalau risiko ditanggung sendiri OK lah. Tetapi risiko ini bisa ditanggung istri dan anak yang dilahirkan dan tragisnya mereka tidak tahu apa-apa soal hal ini. Tahu-tahu HIV positif. Kalau laki-laki tahu menghormati wanita, apalagi ini istri, tentunya ia tidak akan membiarkan belahan jiwanya tertular HIV, dengan tidak berperilaku seksual berisiko di luar sana.
 
Pembekalan untuk keluarga, utamanya bapak, ibu dan anak-anak yang sudah remaja amat besar perannya dalam pencegahan HIV/AIDS. Satu hal yang perlu dipahami betul: AIDS dapat dicegah, sepanyang kita tahu bagaimana cara menularnya. Supaya tahu tentunya perlu diberi informasi yang benar.
 
Peningkatan pengetahuan perlu disampaikan kepada seluruh masyarakat, dimulai dari yang lebih tua, kemudian yang lebih muda, 15-24 tahun. Saat ini tingkat pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS masih rendah. Oleh sebab itu dalam Goal ke 6 Millennium development Goals (MDGs) salah satu indikatornya adalah meningkatkan pengetahuan renaja (15-24 tahun) tentang hal ini.
 
 
SEBUAH ILUSTRASI
 
Lebih dari 20 tahun yang lalu, saya pernah mendengarkan ceramah dr Rusmono, Irjen Depkes waktu itu, pada acara Rakerkesda Prov Jawa Timur. Beliau membagi manusia dalam 4 jenis ditinjau dari kesopanan dan kenakalannya. Kalau kata “manusia” saya ganti dengan “laki-laki” maka menjadi seperti ini:

1.    Sopan dan tidak nakal: Laki-laki teladan
2.    Tidak sopan tapi tidak nakal: Masih OK
3.    Tidak sopan dan nakal: Laki-laki jelek
4.    Kelihatannya sopan tetapi nakal: laki-laki paling jelek

Praktek perilaku berisiko dalam bahasa umum dilakukan oleh laki-laki nakal. Ia tahu bahwa perbuatan itu tidak baik, tetapi tidak tahu risikonya, mau coba-coba barangkali tidak apa-apa, atau memang tidak mampu menahan hawa napsu. Kisah di bawah adalah contoh ekstrim laki-laki nakal yang kelihatannya sopan dan ingin coba-coba. Saya sajikan dalam gambar:
 
Gambar pertama: Di rumah mungkin ia pamit sama istrinya dengan kata-kata romantis: “Aku pergi tak kan lama, dik”. Kepada gadis mungilnya ia mungkin bilang: “Besok papa pulang bawa boneka cantik”. Di luar rumah ternyata banyak godaan. Bekal nilai-nilai moral dan pengetahuan tentang HIV/AIDS dan IMS (Infeksi Menular Seksual) ternyata lemah. Pikirnya, dengan satu orang saja paling tidak apa-apa. “Have fun!”
 
 
Gambar kedua: Barangkali ia tidak pernah memikirkan perilaku seksual teman kencannya yang baru ketemu itu. Juga perilaku teman kencan dari teman kencannya, dan seterusnya. Kalau ia mau membayangkan saja, barangkali ngeri untuk melakukan sesuatu yang berisiko diluaran. Jaringan lalulintas transaksi seksual hanya dua: Dengan lawan jenis dan dengan sesama jenis. Tetapi padat.
 
 
Gambar ke tiga: Si lelaki pulang, tidak lupa pula dengan “boneka” untuk anak perempuannya. Tetapi ada satu yang mungkin saja  ia bawa tanpa ia ketahui: Virus HIV.
 
 
EPILOG
 
Adalah menyedihkan kalau oleh-oleh yang dibawa pulang sang ayah adalah “risiko” yang bisa diderita istri dan mungkin bayinya nanti. Mudah-mudahan ia membaca dan mengikuti pemberitaan tentang Tema Hari AIDS Sedunia tahun 2012 ini:  Lindungi Perempuan dan Anak Dari HIV dan AIDS”, atau mendengan ajakan Menkes kepada segenap masyarakat untuk menjaga kesehatan dan aktif melakukan pencegahan untuk melindungi diri dan keluarga. (IwMM)

Most Recent Post