Thursday, January 31, 2013

BARRIER PENGHALANG KESEMBUHAN TB PARU (1): FAKTOR INDIVIDU DAN MASYARAKAT

Melanjutkan tulisan Penderita TB Paru: Perjalanan Dari batuk sampai sembuh, bila kita berpegang pada A Guide to Developing Knowledge, Attitude and Practice Surveys: Annex A, Cough to Cure Pathway (WHO, 2008), maka barrier penghalang kesembuhan penderita TB paru dapat kita pilah menjadi dua faktor utama:
 
Pertama adalah dari sisi individu dan masyarakat sedangkan yang kedua terdapat pada “sistem kesehatan”. Keduanya bisa terjadi pada semua simpul (mulai penderita mencari pengobatan sampai sembuh) yang telah dijelaskan pada tulisan sebelum ini.
 
 
FAKTOR INDIVIDU
 
Seorang yang batuk lebih dari dua minggu belum tentu pergi ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Hal ini terutama disebabkan rendahnya tingkat pengetahuan tentang gejala-gejala TB Paru, ketidak-tahuan tentang adanya pengobatan TB Paru yang berkualitas dan tuntas atau menganggap batuk-batuk yang dia derita adalah batuk-batuk biasa sehingga tidak ada risiko yang membahayakan bagi dirinya maupun bagi orang lain.
 
Ketika ia akhirnya pergi untuk mencari pengobatan, maka yang pertama muncul dalam pertimbangannya adalah faktor biaya. Biaya menuju tempat pelayanan, biaya pelayanan itu sendiri dan waktu yang terbuang dikaitkan dengan economic loss akibat ia pergi ke sana. Ketika keputusan untuk berobat sudah bulat, ia bisa saja pergi ke tempat lain yang tidak memberikan pelayanan pengobatan dengan strategi DOTS. Semua puskesmas boleh dikatakan telah memberikan pelayanan DOTS. Tetapi sarana kesehatan yang lain, seperti rumah sakit, balai pengobatan dan dokter praktek swasta belum semuanya memberikan pelayanan dengan DOTS. Kembali faktor ketidak-tahuan berperan disini, dalam kaitan dengan “health seeking behavior”.
 
Akhirnya ia sampai juga ke fasilitas kesehatan yang memberikan pelayanan DOTS. Karena rendahnya pengetahuan bahwa untuk pengobatan TB Paru diagnosanya harus pasti dan dibuktikan melalui pemeriksaan dahak yang dilakukan tiga kali, maka bisa terjadi ia tidak menyelesaikan proses diagnosanya, ia bisa tidak kembali padahal hasil pemeriksaan dahaknya positif ditemukan Mycobacterium tuberculosis. Harapannya adalah datang langsung dapat obat dan langsung sembuh.
 
Seandainya pasien kita ini patuh pada prosedur diagnosa maka setelah mendapatkan diagnosa positif TB Paru, ia akan mendapatkan pengobatan. Disini tantangan menjadi semakin besar. Ia harus berobat teratur selama sedikitnya 6 bulan sebelum dinyatakan sembuh yang dibuktikan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Ia merasa sudah baikan kemudian menghentikan pengobatan sebelum waktunya, atau ia bosan berobat karena terlalu lama, bisa juga ia mendengar bahwa nun disana ada yang bisa menyembuhkan dalam tempo singkat tanpa obat. Ia tidak tahu bahwa Obat Anti TB (OAT) menjanjikan kesembuhan tetapi perlu waktu. Demikian pula ia tidak tahu satu-satunya harapan untuk menyembuhkan TB ya hanya OAT yang diberikan dengan secara DOTS (Direct Observed Trearment Short Couse). Short Course untuk TB adalah 6 bulan, bukan 6 hari.
 
 
FAKTOR MASYARAKAT
 
Bila tingkat pengetahuan masyarakat sama rendahnya dengan penderita, maka nasib penderita amat menyedihkan. Tidak ada keluarga maupun warga sekitar yang mengingatkan dan menyarankan untuk periksa ke Puskesmas.
 
Bila masyarakat beranggapan bahwa batuk darah adalah akibat guna-guna maka penderita bisa salah langkah dalam mencari pengobatan.
 
Paling menyedihkan kalau masih ada masyarakat yang beranggapan bahwa TB paru adalah akibat kutukan. Terjadilah stigma dan penderita dikucilkan dengan akibat semakin tidak sembuh, atau penderita yang batuk darah akan menyembunyikan penyakitnya dan enggan pergi ke Puskesmas.
 
 
 
KESIMPULAN

Dapat kita lihat bahwa ditinjau dari sisi individu dan masyarakat, peran dari “ketidak-tahuan” amat besar. Contoh di atas adalah gambaran apabila tidak ada intervensi samasekali dari “sistem kesehatan”.
 
Mengubah perilaku masyarakat melalui penyuluhan kesehatan, sosialisasi dan mobilisasi sosial menjadi amat penting dan merupakan tanggung-jawab dari sistem kesehatan.
 
Hanya sistem kesehatan yang kuat dan didukung oleh peranserta aktif masyarakat yang mampu mengubah perilaku masyarakat. Dengan sistem kesehatan yang kuat kita akan mampu mencapai universal access.
 

No comments:


Most Recent Post