Melanjutkan posting Melacak perjalanan Mycobacterium tuberculosis dalam tubuh manusia (1) dan (2), Andaikan Hippocrates hidup lagi, dan berkunjung ke salah satu puskesmas di
Indonesia, melihat pasien TB yang berobat rawat jalan, mungkin ia akan merasa
malu. Sebagai panutan pada masa lalu ia pernah menasihati kolega-koleganya
untuk tidak menangani pasien “Phthisis” (TB) yang sudah berada pada tahap
lanjut. Percuma, karena tidak akan sembuh. Salah-salah malah reputasi dokter
yang hancur karena gagal menyembuhkan pasien.
Demikian pula andaikan Hermann Brehmer masih hidup, mungkin ia
akan mengangguk-anggukkan kepala sambil menepuk pundak petugas pengawas minum
obat: “Bener enggak kata gue”. Barangkali ia akan bilang begitu. Disertasinya
yang dibuat tahun 1854 (110 tahun sebelum Streptomycin ditemukan) adalah: TB
penyakit yang dapat disembuhkan. Selanjutnya ia akan geleng-geleng kepala melihat
pasien TB berobat jalan dalam jangka waktu yang hanya 6 bulan. Karena sebagai
pendiri Sanatorium pertama di Gorbersdorf (Polandia) pada tahun 1863, penderita
TB harus beristirahat lama di tempat yang berudara segar, dengan harapan
melalui istirahat dan gizi cukup daya tahan tubuh mampu melawan bakteri TB. Kapan
akan sembuh, tidak ada batas waktunya.
Kalau ada yang kecewa, mungkin Selman A. Waksman, andaikan ia juga
ikut berkunjung ke Puskesmas bersama Hippocrates dan Brehmer. Waksman telah
meneliti sejak 1914. Tahun 1943 ia berhasil menemukan Streptomycin dari jamur
Streptomyces griseus. Setelah sukses dengan percobaan binatang, maka pada
tanggal 20 Nopember 1944 dicobakan untuk pertama-kalinya pada penderita TB
dengan hasil “sukses”. Ketika ia mengamati paket OAT (Obat Anti TB) yang
merupakan obat kombinasi, terlontar pertanyaan kepada petugas Puskesmas: “Lha
Strepto saya mana?” Waksman mungkin tidak sempat tahu bahwa monoterapi dengan
streptomycin saja, Mycobacterium tuberculosis mampu melakukan langkah-langkah
yang membuatnya kebal (resisten) terhadap Streptomycin.
OBAT TUNGGAL VS OBAT KOMBINASI
Monoterapi (obat tunggal) ternyata
mudah menimbulkan resistensi. Obat-obat baru pun muncul setelah lahirnya
Streptomycin: Para-aminosalicylic acid (PAS), pyrazinamide, isoniazid (INH),
cycloserine, ethambutol dan rifampicin, berturut-turut pada tahun 1949, 1952,
1954, 1955, 1962 dan 1963.
Ada tiga hal yang harus dimiliki obat
TB: (1) kemampuan antibakteri (2) Kemampuan mencegah resistensi dan (3)
kapasitas membunuh bakteri yang intraseluler. Dengan demikian kata kunci Obat
Anti TB adalah: Obat baru dan Terapi kombinasi.
Monoterapi harus ditinggalkan karena
mudah terjadi resistensi. Kombinasi empat obat: Isoniazid, Rifampicin,
Pyrazinamide dan Ethambutol saat ini dipandang efektif. Jangka waktu pengobatan
bisa diperpendek dari 2 tahun menjadi hanya 6-8 bulan saja.
OBAT ANTI TB: OBATNYA STANDAR,
ORANGNYA TAAT
Yang harus diperhatikan adalah
“ketaatan penderita”. Berhenti berobat sebelum waktunya, masih baik kalau hanya
kambuh saja penyakitnya. Tetapi kalau kemudian yang terjadi adalah timbulnya TB
yang resisten obat (mulai MDR-TB sampai XDR-TB), masalahnya akan lebih ruwet
lagi. Obatnya pun standar, seperti yang disebut di atas.
Obat lepas-lepas yang tidak standar
selain kemungkinan tidak menyembuhkan juga berisiko menimbulkan resistensi.
Obat tidak standar dan diminum tidak tuntas tentunya berisiko mengerikan.Oleh
sebab itu, sekali kita mulai minum OAT maka harus berikrar untuk menyelesaikan
sampai tuntas. Walaupun tidak usah pakai sumpah dan menandatangani pakta
integritas.
Masih banyak hal-hal yang menyebabkan
obat tidak masuk ke mulut pasien, atau pasien mendapatkan obat yang tidak
standar. Hal ini dapat dibaca pada posting Barrier penghalang kesembuhan TB Paru (1): Faktor Individu dan masyarakat dan Barrier penghalang kesembuhan TB Paru (2): Sistem Kesehatan
TB: GLOBAL EMERGENCY
Obat kombinasi memberikan hasil yang
menggembirakan dengan menurunnya insidens dan angka kematian akibat TB. Walau
demikian pada 1980an akhir situasi TB di tingkat global mulai mengkhawatirkan
lagi. Adanya TB Resisten obat menyebabkan situasinya semakin mengkhawatirkan.
Oleh sebab itu pada tahun 1991 dalam
resolusi WHA disebutkan bahwa TB merupakan “major global public health problem”.
Selanjutnya pada tahun 1993 WHO mendeklarasikan TB sebagai “Global Emergency”
dan menyerukan kolaborasi internasional untuk memerangi TB. Setahun kemudian,
1994, strategi baru untuk mengendalikan
TB diluncurkan. Strategi tersebut selanjutnya dikenal dengan strategi DOTS.
DOTS adalah singkatan dari Directly Observed Short Course Treatment.
Intinya pemberian obat jangka pendek dengan pengawasan langsung, dengan lima
komponen utama yang benar-benar harus dilaksanakan, yaitu:
- Secure political commitment, with adequate and sustained financing
- Ensure early case detection, and diagnosis through quality-assured bacteriology
- Provide standardized treatment with supervision, and patient support
- Ensure effective drug supply and management
- Monitor and evaluate performance and impact
PENUTUP
DOTS bukan obat tetapi strategi pengobatan: (1) Ada
komitmen politis sehingga pendanaan dapat dijamin keberlangsungannya (2)
Penemuan dan diagnosa dini dengan pemeriksaan bakteriologis yang bermutu (3)
Pemberian obat yang terstandar, dengan pengawasan dan dukungan pasien (4)
Manajemen dan suplai obat yang efektif dan (5) Monitoring dan evaluasi kinerja
dan dampak.
Dilanjutkan ke STRATEGI MELAWAN TB DENGAN DOTS (2): KOMITMEN POLITIS
TULISAN INI ADALAH EPISODE KE 1 DARI 7 TULISAN
Rujukan Bacaan:
http://who.int/tb/dots/whatisdots/en/index.html
http://who.int/tb/strategy/stop_tb_strategy/en/index.html
http://www.info.gov.hk/tb_chest/contents/c12.html
No comments:
Post a Comment