Sampai pada tulisan ini, dianggap
sudah tidak ada masalah: Penderita sudah ditemukan lebih dari 70 persen,
doagnosa sudah ditegakkan dengan pemeriksaan bakteriologis yang bermutu dan
pengobatan sudah dimulai dengan Fixed Drug Combinations, sudah dilakukan supervisi
dengan baik melalui peran serta aktif keluarga dan masyarakat.
Tetapi kita belum boleh merasa puas.
Masih ada hambatan yang bisa menghadang, yaitu gangguan kelancaran suplai obat
dengan akibat terjadinya stock out (kehabisan stok). Bila hal ini terjadi di
sarana pelayanan, bisa mengakibatkan penderita putus obat yang bukan karena
kesalahan penderita, tetapi kesalahan di dalam sistem kesehatan.
Kemungkinan terjadi “stock out”
tersebut seharusnya sudah diperhitungkan dan diantisipasi sejak awal.
RANTAI SUPLAI TIDAK BOLEH PUTUS DAN
HARUS BERKESINAMBUNGAN
Hal paling fundamental dalam
pengendalian TB adalah pasien harus minum obat yang telah ditentukan secara
teratur sampai dosis terakhir. Tiga determinan disini adalah Penderita (yang
minum obat), petugas (yang mensupervisi pengobatan) dan obat (yang diminum
penderita). Bila penderita dan petugas dua-duanya sudah berkomitmen untuk
menjalankan kewajiban masing-masing, tinggal satu determinan yaitu obat (yang
harus tersedia di tempat).
Obat harus direncanakan, diadakan dan
selanjutnya didistribusikan. Karena obat pada umumnya berasal dari pusat, maka
terdapat beberapa simpul distribusi yang harus aman mulai dari pusat, provinsi,
kabupaten/kota, selanjutnya di sarana pelayanan kesehatan dan terakhir sampai
ke penderita.
SISTEM SUPLAI DAN MANAJEMEN OBAT HARUS
EFEKTIF
Menjaga suplai supaya bisa berkesinambungan dan tidak
terputus adalah tanggungjawab sistem kesehatan. Mengurus logistik bukan barang
gampang, ada banyak hal yang perlu diperhatikan sejak awal oleh semua, dari
hierarkhi yang paling bawah sampai yang teratas.
Sistem pencatatan dan pelaporan TB
harus didesain sedemikian sehingga mampu menyediakan informasi untuk perencanaan
kebutuhan obat pengadaan, distribusi dan kecukupan stok. Terjadinya stock out bisa disebabkan
underestimasi jumlah penderita yang harus diobati karena salahnya pelaporan
penggunaan obat pada tahun sebelumnya.
Pengadaan obat harus memenuhi
ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Berarti melalui proses “procurement”
yang benar, dan memerlukan waktu mulai dari pengumuman lelang sampai penyerahan
barang. Kelambatan mengawali proses pengadaan bisa berakibat semuanya
terlambat.
Obat yang sudah diadakan masih harus
menempuh perjalanan panjang dengan tempat perhentian di gudang provinsi,
kabupaten dan kota sebelum sampai ke penderita.
Petugas kesehatan di sarana pelayanan
harus melaporkan penggunaan obat secara berjenjang. Kelambatan pelaporan bisa
mengakibatkan kelambatan suplai obat ke tempat pelayanan.
Intinya obat yang bermutu dan lengkap
(pengadaan obat anti TB adalah dalam bentuk paket obat yang terdiri dari
beberapa macam) harus ada di tempat dan siap pakai. Di tingkat global kita
kenal Global Drug Facility dan Greenlight Commitee yang membantu negara-negara
berkembang untuk memperoleh obat bermutu dengan harga murah dan memfasilitasi
pelatihan dalam hal manajemen obat.
OBAT ANTI TB: GRATIS
Pemberian OAT (Obat Anti TB) menggunakan
paket obat yang sudah ditetapkan (FDC: Fixed-dose Combinations) dengan strategi
DOTS adalah GRATIS, atau tidak dipungut biaya.
Pemberian secara cuma-cuma ini
juga merupakan salah satu bentuk manajemen obat, karena akan meningkatkan
kepatuhan berobat. Obat akan efektif untuk penderita dan efisien untuk anggaran
yang sudah dikeluarkan. Hal ini karena obat yang ditinggalkan penderita sebelum
habis, tidak bisa diberikan kepada orang lain. Biola diberikan pada orang lain dosisnya
menjadi tidak cukup untuk 6 bulan.
Dari pandangan epidemiologi, penderita
TB yang berobat teratur disamping bermanfaat untuk dirinya sendiri juga untuk
orang lain. Penderita TB paru yang minum obat tidak lagi menular kepada orang
lain.
PENUTUP
Manajemen obat dimulai sejak
perencanaan kebutuhan obat sampai obat diminum penderita. Perencanaan akan baik
kalau didukung sistem pencatatan dan pelaporan yang benar dan tepat waktu di
semua jenjang.
Simpul kelambatan dalam distribusi
obat merupakan tanggung jawab sistem kesehatan tetapi bisa diluar kendali
sistem. Perlu ada antisipasi dan komunikasi bila masalah ada di sistem lain
yang terkait.
OAT harus digunakan secara benar
supaya tidak menimbulkan resistensi. Oleh sebab itu perlu disusun peraturan
yang memberikan pengawasan ketat terhadap pengunaan OAT di luar ketentuan medis
teknis. Disisi lain jangan sampai peraturan perundang-undangan justru
menghambat kelancaran distribusi OAT.
Langkah-langkah antisipasi perlu
disiapkan bila terjadi hal-hal yang tidak terduga. Misalnya bencana alam.
Sebagai contoh “banjir” bisa mengakibatkan obat rusak karena tergenang dan
penderita putus obat karena mengungsi.
Kekuranga stok dan kelebihan stok (kecuali "buffer stock") sama-sama tidak baiknya. jadi: Suplai dan manajemen obat harus efektif.
Dilanjutkan ke: STRATEGI MELAWAN TB
DENGAN DOTS (6) MONITORING DAN EVALUASI
TULISAN INI ADALAH EPISODE
KE 5 DARI 7 TULISAN
2. Strategi melawan TB dengan DOTS (2): Komitmen politis |
3. Strategi melawan TB dengan DOTS (3): Deteksi dan diagnosa dini |
4. Strategi melawan TB dengan DOTS (4): Obat standar dan dukungan pasien |
5. Strategi melawan TB dengan DOTS (5): Suplai dan manajemen obat |
6. Strategi melawan TB dengan DOTS (6): Monitoring dan evaluasi |
7. Strategi melawan TB dengan DOTS (7): Kesimpulan |
Rujukan
bacaan
No comments:
Post a Comment