Wednesday, December 19, 2012

STIGMA DAN DISKRIMINASI (3): MEMBERI PENYULUHAN BUKANNYA ENTENG

Pada acara Gerakan Stop Buang Air Besar Sembarangan di suatu kabupaten, setelah mencanangkan Pak Bupati meminta Wakil Bupati maju untuk memberikan pengarahan. Teamwork yang bagus, pikir saya. Tetapi ternyata Pak Wakil Bupati yang bukan dokter atau sarjana kesehatan begitu piawainya membawa kita dalam perjalanan mulai dari makan sampai mencret, diseling humor dan Hadis Nabi. Selesai acara, waktu istirahat saya tanya: “Kalau ada penyuluhan HIV/AIDS mestinya Bapak yang maju”.
 
Beliau diam sejenak. “Untuk AIDS, saya ragu dan tidak bisa ngomong lepas seperti ini. Apalagi kalau yang hadir orangnya heterogen. Saya takut salah ngomong, terus dikatakan vulgar.”
 
 
BICARA HARUS HATI-HATI
 
Benar apa yang dikatakan Pak Wabup. Memiliki kompetensi teknis masih belum cukup. Harus dilandasi kehati-hatian. Dari hasil tukar pendapat dengan beliau, saya catat hal-hal yang perlu disiapkan sebelum tampil adalah:

1.    Tahu tujuan bicara dan siap dengan materi yang akan disampaikan. Dua-duanya harus kita pegang dan jangan mengandalkan jam terbang. Pilot berpengalaman pun bisa tergelincir

2.    Tahu akan bicara kepada siapa. Apakah kepada masyarakat umum, masyarakat sekolahan, masyarakat pesantren, ibu-ibu PKK, pegawai negeri, angkatan bersenjata, dll. Tiap kelompok cara menghadapinya tidak sama. Bicara dengan kelompok yang heterogen lebih sulit daripada dengan kelompok homogen. Jangan berani-berani terjun bebas.

3.    Bila bicara di hadapan masyarakat harus tahu tingkat intelektual dan adat-istiadat masyarakat setempat, supaya bisa diserap dan tidak dikatakan tidak tahu adat. Lebih bagus kalau bisa datang lebih awal, omong-omong dulu dengan tokoh setempat sambil menggali hal-hal yang disukai dan tidak disukai di tempat itu.

4.    Sampaikan dengan bahasa yang dapat dipahami awam. Boleh sedikit melawak tetapi jangan terlena dengan lawakan karena kita bukan pelawak. Salah-salah kelepasan omong padahal yang diomongkan salah. Sesuatu yang sudah keluar dari mulut tidak bisa ditarik kembali.

Kelihatannya ya hanya empat butir itu yang dapat saya serap. Atau mungkin ditambah satu yang ini. Waktu saya pamitan Pak Wabup mengatakan: “Nanti Pak Dokter pasti jadi pembicara yang baik, atau sebaliknya; Tidak berani bicara samasekali”.
 
 
EPILOG
 
Stigma bisa terjadi dimana saja: Di keluarga, di masyarakat, di kantor pemerintah maupun swasta, di sekolah, di tempat-tempat kerja dll. Sasarannya juga bisa dilihat dari gender termasuk kelompok umur, tingkat intelektualitas dan sosial ekonomi, pandangan hidup, dan masih banyak lagi.
 
Kebetulan saya baca di Website Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kemenkes RI, Pak Dirjen, Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, menyampaikan beberapa hal penting mengenai Pengendalian HIV-AIDS & IMS di Indonesia, antara lain meningkatkan advokasi, dan sosialisasi dengan mengutamakan program berbasis masyarakat, meningkatkan jejaring kerja, kemitraan dan kerja sama.
 
Upaya meningkatkan pengetahuan memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada yang harus melalui advokasi, ada yang melalui komunikasi, ada juga yang melalui sosialisasi, dan tidak mungkin dilakukan tanpa mobilisasi sosial. Semua unsur pemerintah dan masyarakat harus digerakkan sesuai bidang tugas dan peminatan masing-masing.
 

gambar kiri dari www.tangerangkota.go.id dan kanan dari blogs.unpad.ac.id
 




No comments:


Most Recent Post