Diagnosa
secara klinis dalam pengertian awam adalah diagnosa berdasarkan gejala tanpa
dukungan pemeriksaan penunjang, yaitu laboratorium. Misalnya kalau ada orang
sakit panas selang-seling dengan dingin, dikatakan klinis malaria.
Jaman
dulu di puskesmas walaupun ada mikroskop, tetapi banyak yang tidak ada petugasnya.
Kalau petugasnya ada, reagennya yang tidak ada, sehingga tetap tidak mungkin
dilakukan diagnosa pasti. Laporan puskesmas akan berbunyi “malaria klinis”.
Kita tidak bisa membedakan apakah disebabkan Plasmodium falciparum, vivax,
malariae atau ovale.
Di
daerah endemis malaria situasinya beda. Karena endemis maka ada program yang
didukung anggaran, melalui proyek atau bantuan luar negeri. Petugas ada dan
terlatih, kelengkapan laboratorium memadai.
DARI
PANAS TIS SAMPAI DEMAM GOYANG
Di
Jawa “doeloe” ada istilah “panas tis” panas dan atis (kedinginan). Kira-kira
istilah rakyat ini untuk menggambarkan “malaria klinis”. Ada panas yang
diselingi kedinginan sampai menggigil”. Jaman saya SD sudah jarang mendengar.
Kemungkinan berkat hasil pengendalian malaria di Jawa pada masa Kopem dulu,
1960an. kalau ada panas, kala itu yang lebih sering terdengar adalah kata
“Verdag Typhus”.
Sampai
lulus dokter, saya tidak pernah melihat kasus malaria satu pun. Hanya bisa
melihat plasmodiumnya, waktu praktikum di Lab parasitologi, itupun preparat
awetan. Tiga hari jadi dokter Puskesmas di Maluku Utara, langsung melihat
dengan mata kepala sendiri, pasien “demam goyang” pada saat “goyang”. Tanpa
pemeriksaan lab, Pak Mantri kala itu bisa mengatakan Malaria Vivax.
Kumat
malaria, sepertinya pada masa itu dianggap biasa-biasa saja. Seorang pasien
datang dengan keluhan “belakang sakit” dan buru-buru melanjutkan bahwa
malarianya mau kambuh. Obat Malaria, chloroquin, berlimpah di Puskesmas. Obat
suntik juga ada: Chloroquin dan Chinin Antipirin. Laboratorium tidak ada; jadi
ya dokter ikut pasien saja yang sudah hapal gejalanya. Ada keuntungannya, kalau
memang malaria, pasien akan sembuh. Kalau bukan malaria, namanya jadi
overdiagnosis dan data malaria menjadi tidak akurat.
ERA
DIAGNOSA KLINIS SUDAH BERLALU
“Stop
malaria klinis” adalah salah satu kebijakan pengendalian Malaria di Indonesia.
Sungguh tantangan yang berat tapi harus dilaksanakan. Pada Goal ke 6 Millennium
Development Goals (MDGs) yang dimaksud dengan “penurunan” adalah diagnosa
malaria dengan konfirmasi laboratorium: Mikroskopis atau dengan Rapid
Diagnostic Test (RDT).
Ada
beberapa alasan untuk ini: Kalau kita ingin mendapatkan sertifikasi bebas
malaria dari WHO (direncanakan tahun 2030) memang harus berbasis bukti. Dalam hal
ini mikroskopis atau RDT. Disisi lain, secara
manajemen memang menyalahi aturan standar pengobatan malaria yang digunakan sekarang.
Pengobatan dengan kombinasi Artemisinin harus didukung dengan hasil
laboratorium. Dengan demikian penggunaan obat tidak sia-sia; begitu pula dari
sisi anggaran, pengobatan kombinasi dengan obat baru harganya lebih mahal
dibandingkan jaman “monoterapi” dengan chloroquin. Jadi: Dengan konfirmasi
laboratorium, efisiensi anggaran dan efektifitas pengobatan lebih dijamin.
TANTANGANNYA:
KETERSEDIAAN PENUNJANG DIAGNOSTIK
“Itu
yang namanya kerja profesional, mas”, demikian komentar seorang teman. Memang betul
apa yang dia katakan. Semua harus
berbasis bukti. Untuk malaria harus bisa menemukan plasmodiumnya secara
pemeriksaan mikroskopis, atau jejak plasmodiumnya dengan pemeriksaan RDT. Saya
bayangkan seorang hakim, kalau barang bukti tidak cukup, berkas dikembalikan.
Tersangka sementara masih bebas. Tetapi kalau sudah jelas “demam goyang” dan penderitanya tinggal di daerah endemis apa
ya menunggu hasil lab?
Pemeriksaan
laboratorium adalah suatu keharusan sebelum diberikan pengobatan kombinasi
artemisinin kalau sarananya tersedia: Mikroskop lengkap dengan reagensianya
atau RDT plus tenaga laboratorium yang terlatih. Karena kita punya kebijakan “Stop
monoterapi” maka kita punya kewajiban untuk meningkatkan kapasitas (capacity
building) dan mencukupi logistik, baik obat maupun sarana penunjang diagnostik.
EPILOG:
Seorang
dokter Puskesmas di daerah terpencil sedang memeriksa pasien yang tampak lemah.
Ia mencurigai malaria; obat ada, tetapi mikroskop dan RDT tidak tersedia. Sebelum
menetapkan diagnosa (yang pasti “klinis”) ia menanyai sekali lagi pasiennya: “Bapak
demam tinggi, kemudian dingin lalu menggigil. Apakah Bapak punya pendapat
tentang penyakit Bapak?”
Pasien
menjawab dengan ekspresi tidak senang: “Dok, waktu demam kepala saya seperti
mau pecah, saya tidak bisa berpikir. Waktu menggigil, badan gemetar dan gigi
berderak. Jadi saya tidak bisa memberi pendapat”.
Pak
dokter yang hapaL Klasifikasi Internasional Penyakit versi 2010 (ICD-10)
langsung menulis B 54 (Kapling Malaria adalah B 50-54 dan B 54 adalah “clinically
diagnosed malaria without parasitological confirmation”) alias malaria klinis. (IwMM)
No comments:
Post a Comment