Disebutkan
pada awal bab pertama publikasi WHO “Avoiding Tuberculosis”, bahwa penyakit
dengan cara penularan mirip tuberculosis sudah terukir di dinding “Luxor
Temple”, Mesir, yang kini usianya kurang-lebih 4000 tahun.
On the pale walls of the
Luxor Temple, some 4,000 years ago in ancient Egypt, a Pharaoh carved an image
of a man who had become ill when he breathed in a germs smaller than a speck of
sand. The Pharaoh, as he sketched, may not have known that the disease he was
describing on the wall was to become one of the largest single causes of death:
a disease that would later be called tuberculosis.(The Health Academy, WHO,2004)
Para
ahli kemudian melacak jejak DNA nya dan menemukan bahwa Mycobacterium
tuberculosis memang ditemukan pada mummy yang usianya ribuan tahun. Kesimpulannya:
Tuberculosis sudah bersama manusia sejak jaman purba.
HIPPOCRATES
Kurang
lebih dua ribu tahun kemudian di Yunani, Hippocrates mengemukakan bahwa batuk
yang menimbulkan “phtisis” ini (baca: Sebutan tuberculosis dari masa ke masa)
ada kaitannya dengan udara. Ada sesuatu di udara yang menimbulkan sesuatu di
paru-paru.
Hippocrates tidak yakin bahwa penyakit ini dapat disembuhkan. Ia
menyarankan penderita gangguan paru seperti ini supaya menempuh perjalanan jauh
berkuda. Barangkali maksudnya, udara segar di tempat terbuka dapat membantu
penderita bisa bernapas lebih longgar.
Beberapa
abad kemudian Celsius mengkonfirmasi pendapat Hippocrates, bahwa ada kaitan antara
“tuberculosis” (saat itu belum disebut demikian) dengan udara yang masuk
paru-paru manusia. Rekomendasinya hampir sama, penderita supaya tetirah di
daerah pantai dan banyak minum susu.
Istirahat,
udara segar dan gizi kelihatannya menjadi kata kunci penanganan tuberculosis
pada masa itu. TB masih dianggap penyakit keturunan, bukan penyakit menular.
Ide “sanatorium” pada abad ke 19 mungkin diilhami pendapat Hippocrates dan
Celsius.
TB
TETAP MISTERI
Abad
demi abad berlalu, TB masih tetap misteri. Pada abad ke 17 TB dijuluki The Captain of all these men of death oleh John Bunyan (1628-1688), dalam bukunya, The life and death of Mr badman.
Tahun 1620 Franciscus Sylvius (1614-1682) seorang dokter dan ahli anatomi Belanda, menemukan bahwa terdapat semacam massa jaringan pada penderita “consumption’ (merupakan upaya tubuh untuk melokalisir kuman penyebab TB) yang kemudian disebut tubercle. Penyebab TB masih jauh dari diketahui.
Tahun 1620 Franciscus Sylvius (1614-1682) seorang dokter dan ahli anatomi Belanda, menemukan bahwa terdapat semacam massa jaringan pada penderita “consumption’ (merupakan upaya tubuh untuk melokalisir kuman penyebab TB) yang kemudian disebut tubercle. Penyebab TB masih jauh dari diketahui.
Ada
titik terang penyebab TB, ketika pada tahun 1720, Benjamin Marten (1690-1752),
seorang dokter Inggris menduga bahwa TB disebabkan oleh mikroorganisma yang
dapat menular dari satu orang ke orang lain. Ia mengatakan:
"it may be
therefore very likely that by a habitual lying in the same bed with a
consumptive patient, constantly eating and drinking with him, or by very
frequently conversing so nearly as to draw in part of the breath he emits from
the lungs, a consumption may be caught by a sound person...I imagine that
slightly conversing with consumptive patients is seldom or never sufficient to
catch the disease."
(dikutip dari Wikipedia:Benjamin Marten)
Benjamin
Marten mengawali teori “contagium vivum”. Ia menulis “The New Theory of
Consumption”. Tulisan Benjamin Marten and his “New Theory of Consumptions” dimuat
di Microbiological Reviews, September 1978, (Sekarang MMBR).
Sudah ada gambaran
bahwa TB ditularkan melalui udara, tetapi jasad renik yang seperti apa yang
menularkan penyakit, masih tersembunyi dalam misteri.
ROBERT
KOCH: MENYIBAK MISTERI
4000 tahun setelah “Luxor” dan sekitar 150 tahun setelah Marten, Robert Koch,
seorang dokter Jerman yang memperhatikan pendapat Marten, bahwa TB disebabkan
oleh “wonderfully minute living creature” berhasil menemukan mikroorganisme
penyebabnya, yang kemudian dinamakan “Mycobacterium tuberculosis”.
Inilah
bakteri yang menyebabkan terjadinya “tubercle” pada pasien “consumptive” yang
telah disebutkan oleh Sylvius sekitar 250 tahun sebelumnya. Perjalanan yang
sungguh sulit dan panjang. Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri tahan asam,
bukan jenis gram positif maupun gram negatif. Hanya karena kepiawaian Koch maka Mycobacterium
tuberculosis dapat dikeluarkan dari persembunyiannya. Ternyata "living organism" yang lembut tetapi bukanlah lelembut.
SANATORIUM
Pada
masa Koch, industrialisasi mulai merebak di Eropa, kota-kota mulai tumbuh dan
kepadatan di kota meningkat. Suatu hal yang memudahkan penyebaran TB paru. Tempat dengan udara bersih seperti disarankan
Hippocrates dan Celsius makin susah didapatkan. Para dokter mulai memikirkan
sanatorium. Salah satunya adalah Hermann Brehmer, seorang dokter Jerman. Pada tahun
1863 ia mendirikan Brehmerschen Heilanstalt für Lungenkranke in di
Gorbersdorf, Silesia (sekarang Polandia).
Sanatorium umumnya berlokasi di pegunungan,
jauh dari pemukiman umum dan udaranya segar. Di sana penderita TB mendapatkan
istirahat yang cukup dan makanan bergizi.
Diharapkan dengan istirahat cukup,
gizi baik dan udara segar daya tahan tubuh penderita akan meningkat dan terjadi
kesembuhan secara alami.
Disamping itu, memisahkan penderita TB dari populasi
umum akan mengurangi risiko penularan. Perlu ingat bahwa pada masa itu obat
TB belum ditemukan.
EPILOG
Bersyukurlah
umat manusia yang hidup pada jaman sekarang. Obat Anti TB (OAT) tersedia di
puskesmas dan gratis. Pengobatannya pun hanya 6 bulan. Mengapa tidak
dimanfaatkan sebaik-baiknya. Andaikan kita hidup pada era sanatorium, bila
menderita TB paru, maka kita akan dikirim ke sana. Memang di sana dirawat
baik-baik, diberi makan bergizi, tempatnya nyaman, temannya pun juga tidak
sedikit. Boleh dibezoek keluarga dan teman tetapi tidak tahu kapan kita boleh
pulang.
Dilanjutkan
ke TUBERKULOSIS: PENYAKIT PURBA DI ERA GLOBAL (2)
No comments:
Post a Comment