Sampai
menjelang akhir abad ke 19 penegakan diagnosa TB paru masih berdasar gejala:
Batuk berdahak (campur darah), penurunan berat badan, kelemahan umum, demam.
“Diagnosa pasti”, apalagi “diagnosa dini”, belum bisa dilakukan. Penegakan
diagnosa berdasar gejala saja tentunya tidak akurat. Penyakit dengan gejala batuk
dan panas tidak hanya TB.Tulisan ini adalah lanjutan Tuberkulosis: Penyakit purba di era global (1)
DIAGNOSA MASIH BERDASAR
GEJALA:
Rene
Laennec, seorang dokter Perancis (1781-1826) adalah penemu stetoskop pada tahun
1816. Dengan stetoskop, yang semula untuk mendengarkan suara-suara di dalam
rongga dada ia tidak lagi harus harus menempelkan telinga ke tubuh pasien. Tentusaja
stetoskop hanya untuk fisik diagnostik. Ironisnya Laennec meninggal dunia pada
usia muda (45 tahun), diperkirakan karena tuberkulosis.
Sinar
X yang ditemukan oleh Wilhelm Rontgen tahun 1895 lebih membantu karena bisa melihat tubuh bagian dalam dan menemukan
lesi-lesi di dalam paru-paru yang mengarah ke TB paru pada manusia hidup.
(catatan: Tubercle yang ditemukan Sylvius pada tahun 1620 adalah pada penemuan
pada autopsi post mortem).
Skin
test (tuberculin test) baru diperkenalkan oleh Charles Mantoux pada tahun 1907
disusul setahun kemudian, 1908 Calmette dan Guerin menemukan vaksin untuk TB
yang selanjutnya kita kenal dengan vaksin BCG (Bacille Calmette-Guerin) di laboratorium
Pasteur, Perancis. Penggunaan untuk manusia baru dilakukan pada tahun 1921.
Lambat untuk ukuran jaman sekarang, tetapi kita tidak hidup pada jaman dulu.
Vaksin
BCG membawa harapan besar pada jamannya. walau demikian penelitian sekarang menunjukkan bahwa
BCG hanya mampu mencegah terjadinya TB berat, tetapi kurang handal untuk
mengendalikan penularan TB
STREPTOMYCIN DITEMUKAN
Selman
Waksman (1888-1973), mikrobiologist dari Amerika Serikat menemukan bahwa jamur
Streptomyces griesus menghasilkan antibiotik yang dapat membunuh Mycobacterium
tuberculosis.
Setelah dilakukan percobaan pada binatang maka Streptomycin
digunakan pertama kalinya pada tahun 1944 pada seorang wanita, dengan hasil
sembuh.
Pengobatan
TB pun berubah. Penemuan Streptomycin yang disusul dengan PAS dan INH ibarat
semilirnya angin segar dalam pengobatan TB. Mycobacterium tuberculosis telah
mendapatkan lawan yang setanding.
Sanatorium mulai ditutup satu-persatu.
Penderita TB paru tidak perlu lagi dirawat di sanatorium.
ERA
GLOBAL: PERANG MAKIN SERU
Dinding-dinding
Luxor Temple yang memucat menjadi saksi bisu peperangan
selama 4000 tahun lebih antara Manusia melawan Mycobacterium tuberculosis. Ternyata manusia tidak boleh
cepat puas dan bernapas lega. Ancaman baru dari makhluk yang sama tetap mengintai.
Sebagian
besar karena kesalahan manusia sendiri, baik health provider maupun penderita.
Yang satu tidak menggunakan obat terstandar dan satunya malas berobat teratur
sampai sembuh.
Tahun
1960 Dr. John Crofton, seorang TB expert mengatakan bahwa dengan kombinasi
Streptomycin, PAS dan Isoniazid (INH) maka TB akan “completely curable” dan
mendeklarasikan “all out war” untuk melawan Tuberkulosis. Kenyataannya 10 tahun
kemudian outbreak TB resisten obat terjadi di Amerika Serikat.
Berdasar
estimasi bahwa sepertiga penduduk di dunia pernah terinfeksi TB dan terdapat
7-8 juta kasus baru TB aktif setiap tahunnya, maka pada tahun 1993 WHO
mendeklarasikan TB sebagai “global emergency”. Pengobatan dengan strategi DOTS
(Directly Observed Therapy Short Course) pun diluncurkan (Indonesia
melaksanakan mulai tahun 1995).
Pada
bulan September tahun 2000 Indonesia termasuk salah satu negara yang
menandatangani deklarasi milenium yang merupakan kemitraan dan kesepakatan
global, dengan target yang harus dicapai pada tahun 2015. Tuberkulosis termasuk
salah satu penyakit bersama AIDS dan Malaria yang masuk dalam goal ke 6 MDGs.
Semakin ramailah pertempuran manusia melawan TB
EPILOG.
Keberhasilan
negara kita dalam mengendalikan TB sehingga target milenium yang harus dicapai
tahun 2015 berhasil diraih dua tahun lalu tidak boleh menjadikan kita lengah.
Dalam kaitan dengan TB resisten obat, Indonesia termasuk negara “high burden”.
Pengobatan dengan strategi DOTS harus dilaksanakan oleh semua fasilitas
pelayanan kesehatan: Tidak hanya puskesmas tetapi juga rumah sakit pemerintah,
rumah sakit swasta dan dokter praktek swasta. Pengobatan TB harus diawasi
langsung (directly observed) untuk menjamin bahwa obat betul-betul diminum.
Tantangan
TB di era global bukan lagi meraba-raba siapa penyebabnya. Penyebabnya sama
dengan yang di Mesir 4000 tahun lalu. Tetapi semakin sakti (kebal obat) dan
semakin lihay memanfaatkan peluang dalam memilih sasaran (misalnya orang dengan
HIV positif). Sementara manusianya semakin lalai.
Hal
terburuk yang harus dicegah oleh semua orang adalah terjadinya “total
resistence”. Artinya kita berhadapan dengan Mycobacterium tuberculosis
yang kebal semua OAT (Obat Anti TB). Kalau hal tersebut sampai terjadi,
sama saja dengan kita kembali ke jaman purbakala, pada jaman obat belum ditemukan.
No comments:
Post a Comment