Thursday, February 28, 2013

TUBERKULOSIS: PENYAKIT PURBA DI ERA GLOBAL (2)

Sampai menjelang akhir abad ke 19 penegakan diagnosa TB paru masih berdasar gejala: Batuk berdahak (campur darah), penurunan berat badan, kelemahan umum, demam. “Diagnosa pasti”, apalagi “diagnosa dini”, belum bisa dilakukan. Penegakan diagnosa berdasar gejala saja tentunya tidak akurat. Penyakit dengan gejala batuk dan panas tidak hanya TB.Tulisan ini adalah lanjutan Tuberkulosis: Penyakit purba di era global (1)
 
 
DIAGNOSA MASIH BERDASAR GEJALA:
Rene Laennec, seorang dokter Perancis (1781-1826) adalah penemu stetoskop pada tahun 1816. Dengan stetoskop, yang semula untuk mendengarkan suara-suara di dalam rongga dada ia tidak lagi harus harus menempelkan telinga ke tubuh pasien. Tentusaja stetoskop hanya untuk fisik diagnostik. Ironisnya Laennec meninggal dunia pada usia muda (45 tahun), diperkirakan karena tuberkulosis.
Sinar X yang ditemukan oleh Wilhelm Rontgen tahun 1895 lebih membantu karena  bisa melihat tubuh bagian dalam dan menemukan lesi-lesi di dalam paru-paru yang mengarah ke TB paru pada manusia hidup. (catatan: Tubercle yang ditemukan Sylvius pada tahun 1620 adalah pada penemuan pada autopsi post mortem).
Skin test (tuberculin test) baru diperkenalkan oleh Charles Mantoux pada tahun 1907 disusul setahun kemudian, 1908 Calmette dan Guerin menemukan vaksin untuk TB yang selanjutnya kita kenal dengan vaksin BCG (Bacille Calmette-Guerin) di laboratorium Pasteur, Perancis. Penggunaan untuk manusia baru dilakukan pada tahun 1921. Lambat untuk ukuran jaman sekarang, tetapi kita tidak hidup pada jaman dulu.
Vaksin BCG membawa harapan besar pada jamannya. walau demikian penelitian sekarang menunjukkan bahwa BCG hanya mampu mencegah terjadinya TB berat, tetapi kurang handal untuk mengendalikan penularan TB
 
STREPTOMYCIN DITEMUKAN
Selman Waksman (1888-1973), mikrobiologist dari Amerika Serikat menemukan bahwa jamur Streptomyces griesus menghasilkan antibiotik yang dapat membunuh Mycobacterium tuberculosis.
Setelah dilakukan percobaan pada binatang maka Streptomycin digunakan pertama kalinya pada tahun 1944 pada seorang wanita, dengan hasil sembuh.
Pengobatan TB pun berubah. Penemuan Streptomycin yang disusul dengan PAS dan INH ibarat semilirnya angin segar dalam pengobatan TB. Mycobacterium tuberculosis telah mendapatkan lawan yang setanding.
Sanatorium mulai ditutup satu-persatu. Penderita TB paru tidak perlu lagi dirawat di sanatorium.
 
 
ERA GLOBAL: PERANG MAKIN SERU
Dinding-dinding Luxor Temple yang memucat menjadi saksi bisu peperangan selama 4000 tahun lebih antara Manusia melawan Mycobacterium tuberculosis. Ternyata manusia tidak boleh cepat puas dan bernapas lega. Ancaman baru dari makhluk yang sama tetap mengintai.
Sebagian besar karena kesalahan manusia sendiri, baik health provider maupun penderita. Yang satu tidak menggunakan obat terstandar dan satunya malas berobat teratur sampai sembuh.
Tahun 1960 Dr. John Crofton, seorang TB expert mengatakan bahwa dengan kombinasi Streptomycin, PAS dan Isoniazid (INH) maka TB akan “completely curable” dan mendeklarasikan “all out war” untuk melawan Tuberkulosis. Kenyataannya 10 tahun kemudian outbreak TB resisten obat terjadi di Amerika Serikat.
Berdasar estimasi bahwa sepertiga penduduk di dunia pernah terinfeksi TB dan terdapat 7-8 juta kasus baru TB aktif setiap tahunnya, maka pada tahun 1993 WHO mendeklarasikan TB sebagai “global emergency”. Pengobatan dengan strategi DOTS (Directly Observed Therapy Short Course) pun diluncurkan (Indonesia melaksanakan mulai tahun 1995).
Pada bulan September tahun 2000 Indonesia termasuk salah satu negara yang menandatangani deklarasi milenium yang merupakan kemitraan dan kesepakatan global, dengan target yang harus dicapai pada tahun 2015. Tuberkulosis termasuk salah satu penyakit bersama AIDS dan Malaria yang masuk dalam goal ke 6 MDGs. Semakin ramailah pertempuran manusia melawan TB
 
EPILOG.
Keberhasilan negara kita dalam mengendalikan TB sehingga target milenium yang harus dicapai tahun 2015 berhasil diraih dua tahun lalu tidak boleh menjadikan kita lengah. Dalam kaitan dengan TB resisten obat, Indonesia termasuk negara “high burden”. Pengobatan dengan strategi DOTS harus dilaksanakan oleh semua fasilitas pelayanan kesehatan: Tidak hanya puskesmas tetapi juga rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta dan dokter praktek swasta. Pengobatan TB harus diawasi langsung (directly observed) untuk menjamin bahwa obat betul-betul diminum.
Tantangan TB di era global bukan lagi meraba-raba siapa penyebabnya. Penyebabnya sama dengan yang di Mesir 4000 tahun lalu. Tetapi semakin sakti (kebal obat) dan semakin lihay memanfaatkan peluang dalam memilih sasaran (misalnya orang dengan HIV positif). Sementara manusianya semakin lalai.
Hal terburuk yang harus dicegah oleh semua orang adalah terjadinya “total resistence”. Artinya kita berhadapan dengan Mycobacterium tuberculosis yang kebal semua OAT (Obat Anti TB). Kalau hal tersebut sampai terjadi, sama saja dengan kita kembali ke jaman purbakala, pada jaman obat belum ditemukan.

No comments:


Most Recent Post