Tuberkulosis (TB) sudah menghantui
manusia sejak jaman purbakala dengan kesakitan dan kematian tinggi. Benua Eropa
pada abad ke 16 dan 17 begitu takutnya dengan TB yang pada waktu itu belum
disebut TB tetapi “consumption” (karena sepertinya ada yang mengkonsumsi tubuh
kita “dari dalam”) sehingga John Bunyan dalam bukunya The life and death of Mr
Badman menyebut “consumption” sebagai “The Captain of all these Men of Death.”
Ketidak tahuan tentang penyebab TB yang berakibat ketidak tahuan pula TB ini
harus diobati pakai apa, mengakibatkan TB menjadi penyakit yang “incurable”
(belum dapat disembuhkan) dan “deadly” (mematikan).
Titik terang muncul ketika Robert Koch
pada tahun 1882 berhasil menemukan penyebabnya, yaitu bakteri Mycobacterium
Tuberculosis. Obat (Streptomisin) baru ditemukan 62 tahun kemudian yaitu pada
tahun 1944. Selama periode ini penderita TB dirawat di Sanatorium, dengan
harapan bisa sembuh sendiri melalui peningkatan daya tahan tubuh. Bila tidak
sembuh setidaknya sumber penularan telah dijauhkan dari masyarakat umum. “TB
still incurable and deadly”
BAD
NEWS DAN GOOD NEWS
Ada orang yang punya gaya tersendiri
dalam membuka pembicaraan. Ada yang mengawali dengan: “Ada dua berita: Yang pertama berita buruk, dan yang
kedua berita baik. Mau yang mana dulu?” Biasanya akan diceriterakan “bad
news”nya dulu, yaitu TB adalah penyakit yang bisa membuat kita mati. Kemudian
“good news”nya menyusul, TB dapat dicegah bahkan disembuhkan 100 persen. Asal kita berobat
teratur 6-8 bulan dengan Fixed-dosed Combination (FDC) yang telah ditentukan.
Dan yang amat penting jangan berlambat-lambat. Siapa cepat akan sehat. Siapa
lambat akan tamat. “TB still deadly BUT preventable and curable”.
Supaya bisa cepat tentunya harus tahu
kapan kita harus curigai bahwa jangan-jangan kita kena TB. Berarti harus tahu
gejala-gejala yang mengarah ke TB. Yang orang awam tahu adalah “batuk berdahak
campur darah”. Tetapi yang namanya manusia, apalagi ia merasa bukan orang yang
pantas menderita TB (katanya: TB adalah penyakit rakyat yang melarat) maka ia
berpikir dulu ke tempat lain: Misal kena guna-guna.
BATUK
KRONIS: GEJALA UTAMA TB
Ada banyak gejala yang mengarahkan
kita ke penyakit Tuberkulosis: Misalnya demam, keringat malam, nafsu makan
turun, dan penurunan berat badan. Tapi ada satu yang paling penting dan justru
sering disepelekan, yaitu batuk kronis (batuk lama). Celakanya bangsa kita kebanyakan
menganggap “batuk itu biasa”. Malah ada “joke” untuk orang yang malam-malam
banyak batuk, dikatakan malah bagus bisa untuk menakut-nakuti maling. Saya pernah sekolah
di Amerika dan terbatuk waktu kuliah. Betapa malunya melihat semua orang
menoleh ke saya. Lebih-lebih ketika saya bersin. Selesai kuliah, profesor yang
mengajar menghampiri saya: “Iwan, better you go home and take a rest for two or
three days”. Padahal saya cuma short course 3 bulan.
Batuk sebenarnya menunjukkan ada
sesuatu yang terjadi dalam tubuh kita. Apalagi batuk kronis lebih dari tiga
minggu. Jangan-jangan B3 = B3: Batuk Batuk Banyak = Bukan Batuk Biasa. Walaupun
di sisi lain batuk batuk banyak bisa dijadikan "trik" untuk menghindari pertanyaan. Tetapi kalau kita "orang biasa" jangan coba-coba batuk untuk menghindari pertanyaan. Dibawah dapat diikuti rekaman melaui youtube tentang “Hillary Clinton batuk” untuk "Avoiding question" di San Francisco TV
PAK
DIRJEN DAN TUBERKULOSIS
Di banyak kesempatan Dirjen
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL), Kemenkes RI, Prof. dr.
Tjandra Yoga Aditama selalu menyampaikan tentang hal ini: “TB dapat
disembuhkan” Tentang gejala, beliau menekankan yang
paling kardinal yaitu: Batuk kronis. Kalau batuk lebih dari 3 minggu
cepat-cepat konsultasikan. Bila ternyata TB maka harus berobat teratur sampai
sembuh lamanya 6-8 bulan. Obatnya tersedia si semua puskesmas dan dijamin
“Gratis” untuk semua orang yang menderita TB.
Minum obat teratur adalah kata kunci
pengobatan TB. Guna menjamin keteraturan maka ditunjuk pengawas minum atau
menelan obat dari keluarga atau masyarakat. Bila minum obat satu atau dua bulan
merasa enak, jangan hentikan karena penyakit belum sembuh walau gejala sudah
hilang. Bahayanya lebih besar, bukan hanya penyakit akan kembali, tetapi yang lebih bahaya bisa terjadi TB
yang resisten obat atau Multi Drug Resistence TB (MDR TB). Dibawah adalah
rekaman youtube beliau, bahwa TB dapat disembuhkan, yang saya ambil dari web
Sehat Negeriku, Pusat Komunikasi Publik, Kemenkes RI.
EPILOG:
THE GOOD, THE BAD AND THE UGLY
Mendengar sebutan MDR TB bahkan
ada juga ancaman XDR TB (Extensivelly Drug Resistence TB) rasanya pesan tentang TB ini tidak
cukup dengan BAD NEWS dan GOODNEWS saja. kita merujuk ke filem western produksi tahun 1966
yang berjudul The Good, the Bad dan The Ugly, dibintangi Clean Eastwood,
settingnya pada jaman Civil War di Amerika.
Bagaimana kalau kita katakan “The Good of TB” karena bisa disembuhkan
tuntas, walaupun ada “the Bad”nya
yaitu: Kalau tidak diobati bisa menular ke orang lain dan lama-lama
penderitanya mati.
Sebenarnya kita sudah waktunya memekikkan kemenangan terhadap perang dengan TB, apalagi pencapaian target MDG untuk Indonesia sudah tercapai sebelum 2015. Dengan adanya MDR edan XDR TB ini, rasanya jangan dulu bersorak. “Victory cry still too early”. Mengapa? Karena gangguan M/XDR TB itulah. Inilah “The Ugly of TB” yaitu berhenti berobat sebelum waktunya termasuk juga berganti-ganti obat, padahal sudah ada “Fixed-Drug Combination dengan Strategi DOTS yang harus ditaati oleh semua orang baik penderita maupun provider kesehatan dalam mencapai visi “A World Free of TB, sebuah dunia yang bebas dari penyakit Tuberkulosis. (IwMM).
Sebenarnya kita sudah waktunya memekikkan kemenangan terhadap perang dengan TB, apalagi pencapaian target MDG untuk Indonesia sudah tercapai sebelum 2015. Dengan adanya MDR edan XDR TB ini, rasanya jangan dulu bersorak. “Victory cry still too early”. Mengapa? Karena gangguan M/XDR TB itulah. Inilah “The Ugly of TB” yaitu berhenti berobat sebelum waktunya termasuk juga berganti-ganti obat, padahal sudah ada “Fixed-Drug Combination dengan Strategi DOTS yang harus ditaati oleh semua orang baik penderita maupun provider kesehatan dalam mencapai visi “A World Free of TB, sebuah dunia yang bebas dari penyakit Tuberkulosis. (IwMM).
No comments:
Post a Comment