Thursday, November 29, 2012

THE GOOD, THE BAD DAN THE UGLY DARI TUBERKULOSIS

Tuberkulosis (TB) sudah menghantui manusia sejak jaman purbakala dengan kesakitan dan kematian tinggi. Benua Eropa pada abad ke 16 dan 17 begitu takutnya dengan TB yang pada waktu itu belum disebut TB tetapi “consumption” (karena sepertinya ada yang mengkonsumsi tubuh kita “dari dalam”) sehingga John Bunyan dalam bukunya The life and death of Mr Badman menyebut “consumption” sebagai “The Captain of all these Men of Death.” Ketidak tahuan tentang penyebab TB yang berakibat ketidak tahuan pula TB ini harus diobati pakai apa, mengakibatkan TB menjadi penyakit yang “incurable” (belum dapat disembuhkan) dan “deadly” (mematikan).
 
Titik terang muncul ketika Robert Koch pada tahun 1882 berhasil menemukan penyebabnya, yaitu bakteri Mycobacterium Tuberculosis. Obat (Streptomisin) baru ditemukan 62 tahun kemudian yaitu pada tahun 1944. Selama periode ini penderita TB dirawat di Sanatorium, dengan harapan bisa sembuh sendiri melalui peningkatan daya tahan tubuh. Bila tidak sembuh setidaknya sumber penularan telah dijauhkan dari masyarakat umum. “TB still incurable and deadly”
 
 
BAD NEWS DAN GOOD NEWS
 
Ada orang yang punya gaya tersendiri dalam membuka pembicaraan. Ada yang mengawali dengan:  “Ada dua berita: Yang pertama berita buruk, dan yang kedua berita baik. Mau yang mana dulu?” Biasanya akan diceriterakan “bad news”nya dulu, yaitu TB adalah penyakit yang bisa membuat kita mati. Kemudian “good news”nya menyusul, TB dapat dicegah bahkan disembuhkan 100 persen. Asal kita berobat teratur 6-8 bulan dengan Fixed-dosed Combination (FDC) yang telah ditentukan. Dan yang amat penting jangan berlambat-lambat. Siapa cepat akan sehat. Siapa lambat akan tamat. “TB still deadly BUT preventable and curable”.
 
Supaya bisa cepat tentunya harus tahu kapan kita harus curigai bahwa jangan-jangan kita kena TB. Berarti harus tahu gejala-gejala yang mengarah ke TB. Yang orang awam tahu adalah “batuk berdahak campur darah”. Tetapi yang namanya manusia, apalagi ia merasa bukan orang yang pantas menderita TB (katanya: TB adalah penyakit rakyat yang melarat) maka ia berpikir dulu ke tempat lain: Misal kena guna-guna.
 
 
BATUK KRONIS: GEJALA UTAMA TB
 
Ada banyak gejala yang mengarahkan kita ke penyakit Tuberkulosis: Misalnya demam, keringat malam, nafsu makan turun, dan penurunan berat badan. Tapi ada satu yang paling penting dan justru sering disepelekan, yaitu batuk kronis (batuk lama). Celakanya bangsa kita kebanyakan menganggap “batuk itu biasa”. Malah ada “joke” untuk orang yang malam-malam banyak batuk, dikatakan malah bagus bisa untuk menakut-nakuti maling. Saya pernah sekolah di Amerika dan terbatuk waktu kuliah. Betapa malunya melihat semua orang menoleh ke saya. Lebih-lebih ketika saya bersin. Selesai kuliah, profesor yang mengajar menghampiri saya: “Iwan, better you go home and take a rest for two or three days”. Padahal saya cuma short course 3 bulan.
 
Batuk sebenarnya menunjukkan ada sesuatu yang terjadi dalam tubuh kita. Apalagi batuk kronis lebih dari tiga minggu. Jangan-jangan B3 = B3: Batuk Batuk Banyak = Bukan Batuk Biasa. Walaupun di sisi lain batuk batuk banyak bisa dijadikan "trik" untuk menghindari pertanyaan. Tetapi kalau kita "orang biasa" jangan coba-coba batuk untuk menghindari pertanyaan. Dibawah dapat diikuti rekaman melaui  youtube tentang  “Hillary Clinton batuk” untuk "Avoiding question" di San Francisco TV
 
 
PAK DIRJEN DAN TUBERKULOSIS
 
Di banyak kesempatan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL), Kemenkes RI, Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama selalu menyampaikan tentang hal ini: “TB dapat disembuhkan” Tentang gejala, beliau menekankan yang paling kardinal yaitu: Batuk kronis. Kalau batuk lebih dari 3 minggu cepat-cepat konsultasikan. Bila ternyata TB maka harus berobat teratur sampai sembuh lamanya 6-8 bulan. Obatnya tersedia si semua puskesmas dan dijamin “Gratis” untuk semua orang yang menderita TB.
 
Minum obat teratur adalah kata kunci pengobatan TB. Guna menjamin keteraturan maka ditunjuk pengawas minum atau menelan obat dari keluarga atau masyarakat. Bila minum obat satu atau dua bulan merasa enak, jangan hentikan karena penyakit belum sembuh walau gejala sudah hilang. Bahayanya lebih besar, bukan hanya penyakit akan kembali, tetapi yang lebih bahaya bisa terjadi TB yang resisten obat atau Multi Drug Resistence TB (MDR TB). Dibawah adalah rekaman youtube beliau, bahwa TB dapat disembuhkan, yang saya ambil dari web Sehat Negeriku, Pusat Komunikasi Publik, Kemenkes RI.
 
 
 
 
EPILOG: THE GOOD, THE BAD AND THE UGLY
 
Mendengar sebutan MDR TB bahkan ada juga ancaman XDR TB (Extensivelly Drug Resistence TB) rasanya pesan tentang TB ini tidak cukup dengan BAD NEWS dan GOODNEWS saja. kita merujuk ke  filem western produksi tahun 1966 yang berjudul The Good, the Bad dan The Ugly, dibintangi Clean Eastwood, settingnya pada jaman Civil War di Amerika.
 
Bagaimana kalau kita katakan “The Good of TB” karena bisa disembuhkan tuntas, walaupun ada “the Bad”nya yaitu: Kalau tidak diobati bisa menular ke orang lain dan lama-lama penderitanya mati. 

Sebenarnya  kita sudah waktunya  memekikkan kemenangan terhadap perang dengan TB, apalagi pencapaian target MDG untuk Indonesia sudah tercapai sebelum 2015. Dengan adanya MDR edan XDR TB ini, rasanya jangan dulu bersorak. “Victory cry still too early”. Mengapa? Karena gangguan M/XDR TB itulah. Inilah “The Ugly of TB” yaitu berhenti berobat sebelum waktunya termasuk juga  berganti-ganti obat, padahal sudah ada “Fixed-Drug Combination dengan Strategi DOTS yang harus ditaati oleh semua orang baik penderita maupun provider kesehatan dalam mencapai visi “A World Free of TB, sebuah dunia yang bebas dari penyakit Tuberkulosis. (IwMM).

Wednesday, November 28, 2012

TUBERKULOSIS PERNAH DIJULUKI “THE CAPTAIN OF ALL THESE MEN OF DEATH”




Bila bapak dan ibu suka mendownload eBook, silakan klik situs Project Gutenberg, maka akan kita temukan sebuah buku yang ditulis oleh John Bunyan (1628-1688) dengan judul: “The Life and Death of Mr Badman”. Apa yang dikatakan Bunyan tentang bagaimana Mr Badman meninggal? Saya salin dari eBook tersebut sebagai berikut:

 
Pray of what disease did Mr. Badman die, for now I perceive we are come up to his death?
 
I cannot so properly say that he died of one disease, for there were many that had consented, and laid their heads together to bring him to his end. He was dropsical, he was consumptive, he was surfeited, was gouty, and, as some say, he had a tang of the pox in his bowels. Yet the Captain of all these men of death that came against him to take him away, was the Consumption, for it was that that brought him down to the grave. (John Bunyan)
 
Jelas bahwa Mr Badman menderita berbagai macam penyakit termasuk “consumption” (sebutan TB pada abad pertengahan). Tetapi penyakit utama yang merenggut nyawanya, dimana Bunyan memberi julukan “The Captain of all these men of death” adalah “consumption”. Perlu diperhatikan bahwa buku tersebut dibuat pada tahun 1680 dan kalau kita kaitikan dengan sejarah wabah TB di Eropa, maka Bunyan menulis buku ini pada-masa-masa TB sebagai "The White Plague" sedang menjadi momok menakutkan di sana pada masa itu.
 
 
PAK KAPTEN DAN SIR WILLIAM OSLER
 
Sir William Osler
Buku John Bunyan ditulis lebih dari 330 tahun yang lalu. Kalau dia manusia, mestinya Pak Kapten sudah rest in peace di pusaranya. Tapi ini Kapten TB. Walau dari hasil kegiatan pengendalian TB kelihatan bahwa Captain Consumption sudah “fade away” dan trendnya semakin “away”. Mana kita tahu. Kehidupan di dunia ini bisa berubah dalam hitungan detik.
 
Mari kita lihat dulu apa yang terjadi pada tahun 1901. Pada halaman 108 buku Principles and Practice of Medicine, Sir William Osler mengatakan: “The most widespread and fatal of all acute diseases, pneumonia is now the “Captain of the Men of Death” to use the phrase applied by John  Bunyan to consumption”
 
Pada tahun 1901 ternyata untuk penyakit akut pneumonia menjadi masalah besar, sehingga Osler meminjam kata-kata Bunyan, bahwa pneumonia sekarang telah menjadi “The Captain”, menggantikan “Consumption”
 
Tahun 1904, dalam “Medicine in the Nineteenth Century”, in Aequanimitas with Other Addresses to Medical Students, Nurses and Practitioners of Medicine, kembali Sir William Osler mengulangi dukungannya kepada Pneumonia untuk diangkat sebagai Kapten: “In the Mortality Bills, pneumonia is an easy second, to tuberculosis; indeed in many cities the death-rate is now higher and it has become, to use the phrase of Bunyan 'the captain of the men of death”.
 
The Principle and Practice of Medicine, William Osler, MD
 
Sir William Osler ternyata masih selalu ingat dengan Pak Kaptennya John Bunyan. 13 tahun kemudian, pada tahun 1917, dalam “The Campaign Against Syphilis, Lancet 1:787-792, 1917) ia mengatakan: "Many years ago in the 'Life and Death of Mr. Badman,' I came across Bunyan's phrase the 'Captain of the Men of Death,' which 'caught on' in the literature. In his day it may have been true of consumption; it is so no longer; the headship in temperate climates belongs undoubtedly to syphilis."
 
Dari uraian di atas kita lihat bahwa tahun 1901 dan 1904 masalahnya terbesarnya sama, yaitu “pneumonia”, sedangkan tahun 1917 telah bergeser ke Sifilis. “Captain Consumption” rupanya semakin tersingkir. Tetapi apakah Kapten TB kita betul-betul tersingkir secara fisik untuk selanjutnya dilupakan? belum tentu.
 
 
JADI JUDUL BUKU
 
Buku Morales dan Jones
Setidaknya ada dua buku berjudul “Captain of al these men of death” yang diterbitkan pada awal abad ke 21 ini.
 
Yang pertama ditulis oleh Greta Jones, menceriterakan sejarah Tuberkulosis pada abad 19 dan 20 di Irlandia. Masalahnya adalah Tuberkulosis di Irlandia masih tinggi, beda dengan di Inggris atau negara lain di Eropa. Mengapa ada perbedaan pola penyakit, inilah yang diangkat oleh Jones. Ada beberapa kontroversi yang menjadi isue politik dikaitkan dengan tingkat kemiskinan, standar hidup, upaya kesehatan masyarakat, urbanisasi dan gender di Irlandia.
 
Yang kedua ditulis oleh Alejandro Morales, profesor di University of California. Berdasar kisah nyata pamannya yang ikut terdaftar untuk menjadi prajurit pada Perang Dunia ke dua. Karena dari hasil pemeriksaan kesehatan ternyata menderita TB maka ia harus mendekam di sanatorium. Disana ia menghayati banyak hal dari pertemuannya dengan berbagai macam orang dan cara penanganan TB, bahwa di jaman moderen masih ada juga penanganan yang tidak rasional.
 
 
EPILOG
 
Pekik kemenangan masih terlalu prematur, demikian dikatakan Daniel Epstein, jurnalis yang membantu PAHO di bidang informasi publik. Masih banyak tantangan harus dihadapi. Dua yang paling ditakuti adalah: Yang pertama resistensi obat MDR TB dan XDR TB, sedangkan yang ke dua adalah TB HIV. Dua hal ini sudah cukup berat untuk dihadapi. Kita tidak boleh terlena satu detikpun.
 
Back to the saddle again?
Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi membawa harapan dan memperkuat optimisme bahwa kita pasti mampu mengendalikan pembunuh terbesar umat manusia ini sesuai dengan visi “A world free of TB” pada tahun 2050.
 
Mudah-mudahan Kapten TB tidak memiliki semangat dan komitmen seperti Jenderal MacArthur, pahlawan Perang Dunia II dengan janjinya kepada rakyat Filipina pada waktu itu: “I shall come back” dan come back betul.
 
 
Apa yang ditulis Helen Branswell di Canadian Press lima tahun lalu perlu kita perhatikan: “Is the Captain of the Men of Death saddling his horse again?” (IwMM)
 
RUJUKAN BACAAN
 

Wednesday, November 21, 2012

SEBUTAN TUBERKULOSIS DARI MASA KE MASA

Penyakit tuberkulosis sudah ada sejak sejarah manusia belum ditulis. Tuberkulosis sudah ada sejak lebih dari 5000 tahun yang lalu Ada yang menyebut 7000 ada juga yang 9000, pokoknya sudah lama lampau. Para ahli menemukan jejak-jejak Tuberkulosis dari galian-galian arkeologis, misalnya pada mummi dan fosil tulang, dilihat secara fisik maupun melalui  hasil ekstraksi DNA. .
 
Pada masa itu Tuberkulosis belum diketahui penyebabnya. Jadi yang paling gampang adalah mengatakan sebagai penyakit kutukan atau penyakit keturunan. Robert Koch baru berhasil menemukan Mycobacterium tuberculosis pada tahun 1882. Sebelum itu, penderita tuberkulosis masih dalam jaman kegelapan dengan kesakitan dan kematian yang amat tinggi, demikian pula pengobatannya. Belum ada bayang-bayang sama sekali bahwa Tuberkulosis dapat dicegah dan diobati.
 
 
PHTHISIS
 
Hippocrates Wikipedia
Catatan jaman Yunani kuno sekitar tahu  460 sebelum masehi mendeskripsikan kondisi seperti yang dialami penderita Tuberkulosis sebagai “phthisis”. Pengertian “phthisis” kurang-lebihnya adalah pelemahan dan pengurusan tubuh. Hippocrates menyebutkan gejala-gejalanya antara lain: Demam, batuk berdahak kental, kehilangan nafsu makan, makin kurus, makin lemah dan lama-kelamaan mati merana. Saat itu sudah ada penjelasan bahwa “phthisis” disebabkan sesuatu yang terjadi di dalam paru-paru sehingga sering disebut juga “phthisis pulmonal”.
 
Hippocrates dan banyak tokoh lain ternyata menganggap “phithis” disebabkan faktor keturunan. Walau demikian ada satu orang ternama yang pendapatnya berseberangan. Aristoteles meyakini bahwa “phthisis” bukan penyakit keturunan melainkan penyakit menular lewat sesuatu yang ada di udara.
 
 
CONSUMPTION


Consumption
Kalau kita membuka kamus Inggris – Indonesia, maka salah satu arti dari “consumption” adalah penyakit paru-paru atau TBC. Pernah seorang teman yang tidak berlatar-belakang kesehatan bertanya:
 
“Lho mas, konsumsi itu kan artinya makan. Kok malah dipakai untuk memberi nama TBC”. Lalu disambung dengan apa yang dia ketahui: “Orang TBC kan nggak punya nafsu makan?” Kemudian diputusi sendiri: “Tapi katanya, sebelum kena sakit yang tiga huruf A, B dan C itu, nafsu makan memang meningkat”.
 
Kata “consumption” kemungkinan muncul pada abad pertengahan saat Tuberkulosis masih menjadi pembunuh utama di Eropa. Pengertiannya sama dengan “phthisis”, disamping demam, keringat, batuk berdahak yang bisa bercampur darah, maka badan makin lemah, makin kurus, makin pucat, seolah-olah ada yang memakan (mengkonsumsi) dari dalam. Itulah latar belakang mengapa disebut "consumption". Pada saat itu belum diketahui bahwa Mycobacterium tuberculosis lah yang memakan pelan-pelan dari dalam dan menyebabkan "phthisis" atau "consumption"
 
 
WHITE PLAGUE


Sebutan White Plague masih tenar saat ini
Epidemi Tuberkulosis di Eropa diperkirakan terjadi pada abad ke 17 dan berlangsung kurang lebih 200 tahun. Wabah ini dikenal sebagai “The Great White Plague”. Kematian akibat Tuberkulosis tidak terhitung banyaknya. Pada pertengahan abad ke 17 Tuberkulosis menjadi penyebab kematian utama di Eropa.
 
Mengapa saat itu dijuluki “white plague” karena penderita kelihatan amat pucat. Mengapa amat pucat? Karena terjadi “consumption” alias ada yang menggerogoti dari dalam. Jadi “white plague, consumption dan phthisis” maksudnya sama saja. 

Adanya istilah “white plague” hal ini untuk membedakan dengan wabah penyakit Pes yang terjadi juga di eropa kurang-lebih 3 abad sebelumnya. Wabah Pes kala itu juga menimbulkan korban kematian besar, dikenal dengan julukan “Black death” atau “black plague”. (Catatan: Orang jawa menyebut Pageblug, penyakit yang ibaratnya "esuk lara sore mati").
 
 
TUBERKULOSIS
 
R. Morton dan JK Schonlein
Adalah Sir Richard Morton (1637-1698) seorang dokter Inggris yang pada tahun 1689 pertama kali memberi nama “tubercle” untuk lesi jaringan paru akibat penyakit yang saat itu belum disebut Tuberkulosis. Lesi jaringan berbentuk massa bulat tersebut selalu didapati pada paru-paru penderita “consumption” atau “phthisis”.
 
150 tahun kemudian, tepatnya tahun 1839, profesor Johann Lukas Schonlein (1793-1864) seorang dokter Jerman, profesor di  Universitas Berlin memberikan terminologi “Tuberculosis” untuk penyakit “consumption” atau “phithis” dengan “tubercle” di jaringan parunya. Itu baru sebutan untuk penyakitnya. Penyebab penyakitnya sendiri, baru ditemukan 43 tahun kemudian, pada tahun 1882 oleh Robert Koch. Ia tidak neko-neko dalam memberi nama, langsung saja Mycobacterium tuberculosis.
 
Sungguh sebuah perjalanan panjang untuk sebuah nama.
 
 
EPILOG.


Dari dulu sudah dilarang meludah
Disebutkan dalam Tuberculosis Fact Sheet WHO, Oktober 2012 bahwa Tuberkulosis adalah pembunuh terbesar kedua setelah HIV/AIDS.

Pada tahun 2011 dimana keberhasilan pengendalian Tuberkulosis sudah on track bahkan banyak negara berhasil mencapai sasaran MDGs, ternyata di dunia ini masih terdapat kurang lebih 8,7 juta penderita dengan 1,4 juta kematian akibat Tuberkulosis.
 
Bisa kita bayangkan, pada masa sekarang dimana Tuberkulosis sudah bisa disembuhkan dalam tempo minimal 6 bulan, sisa penderitanya masih segitu banyak. Jaman dulu, betapa mengerikannya. Tidak heran bila John Bunyan (1680) menyebut “Consumption” sebagai “THE CAPTAIN OF ALL THESE MEN OF DEATH” (IwMM)

RUJUKAN BACAAN

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs104/en/
http://www.britannica.com/EBchecked/topic/528094/Johann-Lukas-Schonlein
http://en.wikipedia.org/wiki/Richard_Morton_(physician)
http://en.wikipedia.org/wiki/History_of_tuberculosis
http://www.news-medical.net/health/History-of-Tuberculosis.aspx 

Sunday, November 18, 2012

KELAMBU: DARI TAFSIR MIMPI SAMPAI KENYATAAN

Penerimaan masyarakat terhadap “kelambu” amat baik. Pembagian kelambu selalu diterima dengan dua tangan. Soal penggunaannya bagaimana, itu ceritera lain. Pokoknya kelambu always welcome. Kelambu rupanya sudah dikenal lama oleh masyarakat dan “makna” kelambu ternyata “baik”. Dua contoh di bawah, mungkin tidak ilmiyah tetapi bisa dijadikan evidence bahwa tidak ada resistensi terhadap program kelambu.
 
 
KELAMBU DAN TAFSIR MIMPI
 
Harus diakui bahwa masih banyak orang yang percaya bahwa mimpi membawa makna, sehingga buku tafsir mimpi banyak dijual di toko buku. Bila sempat, silakan kunjungi salah satu book store dan baca cepat-cepat. Kalau  tidak sempat browsing saja di internet dengan kata kunci “mimpi kelambu”. Ada beberapa situs yang memuat hal tersebut.
 
Beruntunglah program pengendalian Malaria bahwa mimpi tentang kelambu, tafsirannya bagus. Andaikan jelek, pasti banyak orang tidak mau kelambu walau dikasih gratisan.

1.    Mimpi membuka kelambu: Akan mendapat makanan yang enak-enak.
2.    Membeli kelambu: Akan memperoleh kemajuan
3.    Tidur menggunakan kelambu: Akan dimuliakan orang banyak
Dapat disimpulkan bahwa kelambu dimaknai baik oleh masyarakat. Yang jelas, kalau sebelumnya kita tidak pakai kelambu kemudian sekarang pakai, memang namanya kemajuan. Karena tidak diserang Malaria, maka makan bisa enak, kinerja lebih baik, ekonomi keluarga meningkat, hidup pun lebih mulia.


KELAMBU: PELINDUNG SERANGAN ANGIN JAHAT
Mengenai hal ini dapat di baca di weblog  http://vivaborneo.blogspot.com/
Alinea pertama saya kutip saja sebagai berikut: Pernahkah anda tidur di dalam kelambu? Pertanyaan ini mungkin lucu bagi sebagian orang kota yang memiliki rumah dengan kamar-kamar yang tidak dapat dimasuki oleh nyamuk. Tetapi tahukah anda jika kelambu selain berfungi sebagai alat untuk melindungi tubuh dari gigitan nyamuk, juga melindungi raga dari serangan santet, teluh, guna-guna dan berbagai angin jahat lainnya.
Masuk akal juga. Penderita malaria sering seperti orang kemasukan. Beberapa kali saya melihat waktu dinas di Maluku Utara 30an tahun yang lalu.
Orang Jawa jaman dulu, mungkin mengatakan “lelembut”, masuk akal juga untuk sesuatu yang hanya bisa dilihat dengan mikroskop, saking lembutnya sehingga tidak dapat dilihat dengan mata telanjang.
Sisi positif dari kepercayaan ini, karena takut lelembut atau makhluk halus, maka kita tidur pakai kelambu. Di kemudian hari dapat djelaskan bahwa yang halus dan lembut itu namanya “Plasmodium”
 
RATU DAN KELAMBU
Konon Cleopatra kalau tidur juga pakai kelambu. Entah betul entah tidak, demikianlah disebut oleh Wikipedia yang juga mengutip dari Malaria Site. Tidak bisa dilacak darimana Malaria Site mengutip karena walau ada daftar kepustakaan tetapi kutipannya tidak ditandai.
Cleopatra mungkin sudah terlalu lama lampau, kita kembali ke alam nyata saja. Princess Astrid, dari Belgia, sebagai  Special Representative to the Roll Back Malaria  pada tahun 2012 ini berkunjung ke Indonesia. Bersama Dirjen Pengendalian Penyakit dan penyehatan Lingkungan (P2PL), Kemenkes RI, Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama beliau mengadakan kunjungan lapangan ke Lampung pada tanggal 14 April 2012.
Di bawah dapat diikuti rekaman Youtube Kunjungan Princess Astrid dan Prof. Tjandra, dari web Puspromkes Kemenkes RI.

EPILOG

Dunia lain berpesan bahwa tidur dengan kelambu akan aman dari angin jahat. Dunia mimpi memberitahu, tidur dalam kelambu akan mendapatkan kemuliaan. Kita kembali ke manusia, Princess Astrid mengatakan:

“I’ve seen first-hand the complete devastation malaria imposes on communities. I’ve also seen the incredible hope provided by simple, cost-effective tools that prevent and treat infection and advance other development goals that will lift communities out of poverty.” Demikian dikutip oleh http://www.royaltyinthenews.com/tag/  

Ada harapan yang amat besar diberikan oleh alat yang amat sederhana dan cost efektif. Tidak lain adalah kelambu.(IwMM)

Saturday, November 17, 2012

LAGU NINA BOBO DAN NYAMUK

Sebuah lagu yang amat akrab di telinga kita “nina bobo”. Terbayang seorang ibu menidurkan bayinya atau mungkin anak balitanya dalam buaian.
 
Liriknya pendek saja, dengan dua kata kunci BOBO dan NYAMUK. Lagu ini sudah ada sejak saya kecil, penciptanya tidak jelas siapa.
 
Kira-kira “lullaby song” ini asli Indonesia yang memang akrab dengan nyamuk.  Liriknya sampai sekarang tidak berubah, dapat dibaca pada gambar di bawah yang saya ambil dari mamalisa.com
 
 
Kalau dibandingkan dengan “lullaby song” lain dari negara lain, misalnya dari lirik lagu “Lullaby and good night” nya Johannes Brahm, ada kata-kata yang intinya: Ibu akan menjagamu sepanjang malam.
Sleepyhead, close your eyes. Mother's right here beside you. I'll protect you from harm, You will wake in my arms.
Lain lagi dengan orang Belanda. Dalam menidurkan anak, mereka malah berceritera tentang domba kaki putih yang minum susu
Slaap kindje slaap, daar buiten loopt een schaap. Een schaap met witte voetjes, die drinkt zijn melk zo zoetjes.
Mari kita dengarkan sekali lagi lagu “nina bobo” yang kebetulan dinyanyikan oleh orang Belanda. Orkestra ini tergabung dalam “Die Minnesanghers” dengan penyanyi sopran senior Claudia Patacca. Tayangan videonya diposting di situs Youtube sejak Januari 2011 dan sudah dikunjungi banyak orang. Kata-katanya tidak diubah.
 
Kesimpulannya kalau kita bicara tentang “lullaby song” dan yang diceriterakan adalah “Nyamuk” lebih banyak pastinya bahwa lagu ini Indonesia banget.
 
KRITIK DAN PEMBELAAN UNTUK NINA BOBO
Gambar: http://remicadedream.com/
Lagunya indah dan mendayu-dayu. Tetapi kalau kita bicara tentang pengendalian Malaria, terpaksa memberikan kritik. Seorang ahli pendidikan barangkali kritiknya lain. Nyuruh tidur saja kok ditakut-takuti pakai nyamuk segala. Saya yang bukan ahlinya di bidang itu, malah bisa memahami dari sudut pandang saya, bahwa kita perlu takut dengan nyamuk. Nyamuk adalah serangga penular penyakit.
Yang jadi masalah adalah kata-kata “kalau tidak tidur digigit nyamuk” karena justru pada saat tidur kita rawan digigit nyamuk. Apalagi kalau kita tinggal di daerah endemis malaria. Lalu adakah solusinya?
Kita ikuti saja apa kata Johannes Brahm di atas: Mother's right here beside you. I'll protect you from harm. Ibu ada disampingmu dan akan selalu menjagamu dari bahaya. Tentu salah satunya  adalah melindungi dari gigitan nyamuk. Sehingga yang dimaksud dengan kata “tidurlah tidur dalam buaian” dalam lagu nina bobo adalah “buaian yang berkelambu”. Pasti tidur nyaman dan  mimpi indah bersama Een schaap met witte voetjes yang susunya zo zoetjes itu. Kalau seperti ini, memang benar bahwa “kalau tidak bobo, atau masih main-main, maka  peluang digigit nyamuk akan lebih besar (IwMM)

Friday, November 16, 2012

TEMPAT BERKEMBANG-BIAK NYAMUK MALARIA


 
Tempat perindukan nyamuk umumnya disebut Breeding place” atau “breeding site”. Pada prinsipnya Nyamuk Anopheles akan meletakkan telur-telurnya di di genangan air bersih dan tidak kena polusi, hanya selera lokasi berkembang-biak masing-masing spesies tidak sama. Misalnya  larva Anopheles dapat kita temukan di air tawar maupun rawa-rawa berair payau, rawa mangrove (bakau), sawah, selokan yang tertutup rumput, di tepian sungai, demikian pula genangan air (sementara) akibat hujan.  Kebanyakan spesies lebih menyukai habitat yang ada tumbuh-tumbuhannya, walau ada juga yang tidak. Ada yang memilih genangan air terbuka dengan sinar matahari penuh, sementara yang lain memilih  tempat-tempat terlindung di hutan-hutan. Ada juga  beberapa spesies yang larvanya kita dapatkan di lubang-lubang pohon dan ketiak daun (CDC Atlanta)
 
Bila kita membaca Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan, Kemenkes RI, Triwulan 1, 2011, maka tempat berkembang biak vektor malaria dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu: Persawahan, perbukitan/hutan dan pantai/aliran sungai
 
1. Persawahan: An. aconitus, An. Annullaris, An. barbirostris, An. kochi, An karwari, An.nigerrimus, An.sinensis, An.tesellatus, An.Vagus, An. letifer.
 
2. Perbukitan/hutan: An.balabacensis, An.bancrofti, An.punculatus, An.Umbrosus.
 
3. Pantai/aliran Sungai: An.flavirostris, An.Koliensis, An.ludlowi, An.minimus, An.punctulatus, An.parangensis, An.sundaicus, An.subpictus.
 
 
PEMBAGIAN TUGAS YANG RAPI
 
Sepertinya kerajaan nyamuk dari genus Anopheles ini sudah memiliki sistem pemerintahan yang tertata. Untuk tempat tinggal sudah ditentukan siapa tinggal dimana. Bahkan jam kerja pun sudah diatur (baca: Kapan dan dimana Anopheles menyergap).
 
Kita sudah tahu sejak lulus SD bahwa Malaria ditularkan oleh Nyamuk Malaria (Anopheles) yang berkembang-biak di “rawa-rawa”. Ini yang membuat kita lengah. Rawa konotasinya air payau di pantai. Kalau kita tinggal jauh di darat, atau di pegunungan bukan berarti bebas ancaman anopheles. Disana ada spesies anopheles lain yang menanti.
 
Sebagai contoh, bila kita bicara tentang Anopheles sundaicus, maka spesies ini ditemukan pada air payau. Untuk air payau yang kadar garamnya tinggi diserahkan kepada Anopheles subpictus subpictus). Pada tempat yang lebih tinggi, misalnya di kaki gunung (400-1000m) telah menanti Anopheles aconitus dan lebih tinggi lagi (sampai 1600 m) pada genangan air jernih yang kaya sinar matahari, terdapat Anopheles maculatus menunggu kita disana.
 
Barangkali karena areal pesawahan cukup luas, maka kalau dihuni satu spesies saja, pasukan Anopheles ini kurang kuat. Setidaknya tiga spesies mengawal disana: Di pesawahan bertingkat terdapat Anopheles aconitus. Pada sawah yang siap ditanami ada Anopheles kochi, dan satu lagi Anopheles sawah adalah Anopheles barbirostris.
 
Anopheles tidak akan membiarkan habitat manusia aman. Bila memungkinkan semua tempat yang bisa digenangi air, baik permanen atau temporer akan dia coba menguasainya. Anopheles kochi ditugasi mengisi bekas injakan kerbau, Anopheles balabacensis ke cekungan bekas dilewati truk, Anopheles barbirostris juga dikirim ke air tergenang yang alirannya pelan, kemudian pada parit, kolam yang penuh rumput akan ditugasikan Anopheles subpictus malayensis.
 
Jangan lupa pula bahwa Anopheles menunggu manusia berbuat kesalahan. Ia akan melihat peluang pada tambak bandeng atau udang yang “neglected” atau “abandoned”. Demikian pula bekas galian-galian tambang kalau dibiarkan cekung, terbuka dan dibiarkan saja merupakan lahan subur yang tinggal pakai saja. Ironisnya, semua ini yang menyediakan manusia. Raja Anopheles akan mengatakan: “Dari manusia, oleh manusia, untuk nyamuk”
 
 
BEBERAPA CONTOH GAMBAR TEMPAT PERINDUKAN
 
 
 
 
 
PENUTUP
 
Manusia harus waspada. Kata kunci tempat berkembang biak nyamuk hanya dua: “Air tergenang” dan “air tidak terpolusi”. Kata kunci pengendaliannya ada empat: jangan biarkan air tergenang (keringkan atau alirkan), tebarkan predator ke air (untuk genangan besar yang permanen), beri "polusi" ke air (misalnya larvacida dengan catatan jangan sampai membahayakan manusia) dan bunuh nyamuk dewasa (dengan residual spraying dengan catatan juga jangan sampai membahayakan manusia)
 
Rujukan bacaan:
Epidemiologi Malaria di Indonesia, Buletin  Jendela Data dan Informasi Kesehatan, Triwulan I, 2011, Kemenkes RI




Most Recent Post